Minggu, 18 September 2011

Apa yang Patut Anda Ketahui sebagai Pelajar Islam


Hanya ilmu yang dapat mengangkat derajat manusia. Olehnya itu, Allah SWT memberi mereka aneka ragam potensi diri. Orang yang cacat sejak lahir punya kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi diri sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Di dalam Islam setiap manusia punya hak yang sama dalam memperoleh pendidikan.

Keurgensian ilmu pengetahuan terangkum dalam seruan Allah SWT kepada umat manusia untuk senantiasa membaca, menelaah, dan berpikir positif. Dia berfirman:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantara kalam (alat tulis baca). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. al-Alaq [96]:1-5)

Objek dari ilmu pengetahuan yang diserukan Alqur'an tidak disebutkan secara eksplisit, karena ia melihat tujuan utama dari setiap disiplin ilmu, yaitu mengungkap tanda-tanda keberadaan dan keagungan Allah SWT.

Mahasiswa kedokteran mempelejari ilmu kedokteran supaya mampu menangkap sinyal-sinyal dari manifestasi nama-Nya, as-Syafi' (Yang Maha Pemberi Kesembuhan). Sekolah teknik kejuruan mengajarkan mekanisme kerja mesin, arsitektur bangunan, dan keterampilan khusus serta operasional satuan kerja di lapangan, supaya mereka dapat mengetahui perwujudan nama-Nya, al-Muqaddir (Yang Maha Tahu dalam Menentukan kadar sesuatu).

Jika seorang dokter mampu menyembuhkan penyakit dengan obat dan terapi khusus, maka disana ada zat Yang Maha Penyembuh, sumber dari segala kesembuhan. Apabila seorang insinyur bangunan dapat membangun gedung bertingkat, dan dengan ketangkasan seorang mekanik merakit kepingan-kepingan besi menjadi benda yang berguna, maka pasti disana ada Zat Yang Maha Mampu Menciptakan sesuatu dengan kadar dan komposisi tertentu tanpa butuh kepada yang lain, dan tidak dijangkiti rasa lelah dan capek.

Setiap disiplin ilmu bisa dikatakan sebagai ilmu, jika ia memberi hakikat seperti ini. Pelajar yang benar adalah mereka yang mampu mengenal manifestasi nama-nama Allah SWT lewat ilmu yang digelutinya. Ahli sains sejati adalah mereka yang menjadikan alam semesta sebagai laboratorium, tempat dimana mereka menemukan tanda-tanda kekuasaan-Nya. [1]

Maka dari itu, sejak awal Alqur'an mengangkat derajat orang-orang yang berilmu pengetahuan. Dia berfirman:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.. al-Mujadalah [58]: 11)

Orang-orang yang berilmu pengetahuan disini sebagaimana yang digarisbawahi ayat di atas adalah mereka yang mengedepankan akalnya dalam setiap masalah, tidak mengikuti hawa nafsunya, mendahulukan yang amat penting dari yang penting, punya perencanaan ke depan, bekerja dengan dedikasi tinggi, dan tidak membodohi sesama atau mengeksploitasi seseorang untuk kepentingan pribadi. Hematnya, mereka itu adalah orang-orang yang tahu dimana letaknya kebenaran dan keburukan. Bukankah jarak di antara mereka berdua seperti jaraknya langit dan bumi?

Jika ada yang bertanya: “Kenapa proses pembelajaran sering kali tidak mendatangkan berkah terhadap kehidupan mereka? Dimana letak dari keberhasilan pendidikan yang senantiasa dicari oleh setiap pelajar?”

Saya menjawab: ada beberapa hal yang mendasari keberhasilan pendidikan yang penuh berkah yang mereka tidak miliki, di antaranya:

1. Menjadikan keinginan belajar sebagai kebutuhan pokok

Orang yang menghargai ilmu adalah mereka yang senantiasa tidak ingin lepas dari buku, punya rasa ingin tahu yang kuat, mencari ilmu dimanapun ia berada, mendatangi ilmu dan tidak mengharap ilmu yang mendatanginya. Tentunya, ini tidak terwujud kecuali jika rasa ingin tahu telah mendarah daging dalam diri, dan menjadi sebuah kebutuhan tersendiri.
Makna ini tersirat dalam sabda Rasul Saw berikut ini:
“Tuntutlah ilmu pengetahuan, meskipun itu di negeri Cina.” [2]
Jika anda berkata: “kenapa dalam melihat ilmu pengetahuan harus disejajarkan dengan makanan pokok?” maka Jawabannya seperti ini:

“kelangsungan hidup setiap makhluk tergantung kepada makanan, dan tentunya ketahanan fisik ada pada makanan pokok yang wajib dikomsumsi setiap hari. Begitu pula dengan rohani, supaya ia dapat melahirkan ide dan inspirasi untuk mendatangkan kemaslahatan jasmani, maka ia harus membaca dan menelaah. Seseorang bisa bertahan hidup tanpa makan dan minum selama 40 hari, tetapi ia tidak bisa menghabiskan satu hari tanpa berfikir. Olehnya itu, jika pada tenggang waktu tertentu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, maka pada saat sekarang manusia sepatutnya dikatakan sebagai makhluk penuntut ilmu demi tercapainya kebutuhan rohani dan jasmani secara berimbang.”

Mereka yang punya sikap seperti ini adalah mereka yang tidak membedakan satuan ilmu pengetahuan dari yang lain. Mereka yang menghargai semua guru, karena apa yang mereka sampaikan adalah makanan primer terhadap rohani. Bukankah suatu kebodohan jika menjauhkan diri dari orang yang datang dengan sengaja menyuguhkan dan menyuapi makanan kesukaan kita? Kenapa kita ingin menolak pemberian itu, bukankah hewan sendiri suka disuapi?
Ingatlah! Berkah ilmu tergantung dari sejauh mana kita menghargai ilmu pengetahuan dan orang-orang yang berilmu.

2. Terus menerus belajar

Makanan pokok tidak dikatakan sebagai kebutuhan mendasar jika hanya sekali dimakan saja, tetapi makanan pokok itu adalah makanan yang senantiasa dikomsumsi tiap harinya. Seseorang bisa saja tidak makan kerupuk pada hari ini dan hari-hari mendatang, tetapi amat sulit baginya jika tidak makan nasi pada tiap kali mengusir rasa lapar.
Pelajaran menjadi kebutuhan utama, jika dalam diri senantiasa ada dorongan kuat untuk membaca, mengetahui, dan memahami.

Bukanlah belajar itu dengan membaca sekali kemudian berhenti karena telah merasa puas, tapi belajar yang benar itu adalah belajar yang tidak pernah mengenal rasa puas, senantiasa haus dengan ilmu, selalu membaca di setiap ada kesempatan. Jika tidak membaca dalam jangka waktu tertentu tercipta dalam diri sebuah keanehan dan rasa tidak nyaman, seperti orang yang merasa lemah akibat tidak makan dan minum.

Para ilmuwan Islam terkemuka telah terbiasa menghabiskan waktu mereka berjam-jam tanpa makan dan minum, hanya karena terbuai oleh indahnya setiap hakikat ilmu pengetahuan yang mereka pahami. Bahkan, di antara mereka yang ditakdirkan masuk penjara meminta agar tidak dipisahkan dengan bukunya, meski ia hanya membawa sehelai pakaian. Itu bukanlah hal yang aneh, karena kepribadian manusia terbentuk dari kebiasaan.

Hemat penulis, seruan itu tersirat dari ayat-ayat yang menganjurkan umat untuk senantiasa memikirkan dan mengungkap rahasia-rahasia Allah SWT di balik setiap penciptaan entitas kehidupan. Alqur'an dalam menyeru kepada hal tersebut kerap kali mempergunakan fi'il mudhari (kata kerja yang menunjukan pekerjaan yang terjadi pada saat sekarang dan masa mendatang). Seperti firman-Nya di bawah ini:

“Maka tidaklah kamu memahaminya?”(QS. al-Baqarah [2]: 44)

Dan firman-Nya juga:
“Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” (QS. al-An'am [6]: 50)

serta firman-Nya:
“Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”(Qs. Yunus [10]: 3)
Dan pastinya, seruan untuk memahami, berpikir, dan mengambil pelajaran senantiasa langgeng sampai hari kiamat.

3. Merendah diri terhadap sesama

Tawadhu' (rendah diri) merupakan tujuan ilmu, dan pada waktu yang sama dia juga jalan meraih berkah pendidikan. Karena dengan sifat itu, seseorang tidak menganggap remeh ilmu pengetahuan, melihat enteng orang lain, membuang kesombongan dan ego, dan senantiasa melihat dirinya sama dengan yang lain. Orang yang menyombongkan diri dengan pengetahuannya telah berada pada kebodohan dalam keadaan tidak sadar.

Apakah yang dapat kita sombongkan dari ilmu itu? Bukankah pada suatu waktu seorang pelajar kadang lupa apa yang pernah dipelajarinya, sementara ia amat yakin bahwa hafalan tersebut senantiasa melekat di benaknya? Bukankah ini pertanda bahwa setiap pelajar hanya dituntut untuk belajar dan berusaha semaksimal mungkin mengetahui, tahu atau tidaknya itu tergantung kepada kebijakan Allah SWT? Bukankah itu sinyal dari kelemahan dan ketidakmampuan kita sebagai hamba, jadi apa lagi yang mesti disombongkang, wahai mereka yang bersikap angkuh dengan ilmunya?

Orang tua murid sering kali melantunkan pepatah ini: “Padi jika menguning merundukkan daun”. Orang yang rendah diri adalah mereka yang tahu jati diri, tidak melihat ada sesuatu kelebihan dalam diri, karena yang memberi isi dan bobot ilmu pengetahuan dalam dirinya adalah Sang Pencipta. Ia hanya tempat air yang siap untuk diisi, dan tidak menutup kemungkinan air itu ada yang tumpah sebagian. Jika perihalnya seperti itu, kenapa kita tidak ingin menundukkan muka, merendah diri terhadap sesama?

Di dalam sifat ini tersimpan kebaikan yang tidak terkira. Jika rendah diri telah menjadi pakaian seseorang, maka ia akan memberi rasa damai, tawakkal, dan percaya diri yang luar biasa. Kenapa tidak? Bukankah rendah diri itu sifat para ulama.

Wahai mereka yang berilmu, Berbagahagialah! Anda adalah pelanjut perjuangan para nabi-nabi dalam mengemban dakwah Islam, diberikan potensi untuk mengetahui manifestasi nama-nama Allah SWT di alam semesta, diangkat derajatnya di antara hamba-hamba-Nya, dan tentunya, mereka itu meniti jalan kebenaran menuju akhirat.

Berbahagialah kalian! Di dunia anda dimuliakan sesama, di akhirat anda mendapatkan tempat kehormatan tersendiri di sisi Allah SWT. Olehnya itu, Buanglah jauh, dan kubur mati kesombongan itu, serta tanamkan dalam diri sikap rendah diri! Itulah keberuntungan yang sebenarnya.



Kamis, 01 September 2011

Berapa Efektif Puasa Ramadhan kita ?



APAKAH selama Ramadhan ini ketika menikmati makanan di waktu sahur Anda ditemani program-program TV? Juga apakah selesai menyantap hidangan Anda masih menikmati hidangan yang disajikan TV hingga menjelang subuh? Jika ya, berarti puasa Ramadhan Anda tahun ini bisa dikatakan belum efektif. Bagaimana bisa? Apa hubungan menyaksikan TV di waktu sahur dengan efektifitas puasa Ramadhan?

Ramadhan adalah madrasah, sekolah atau training center gratis yang disediakan khusus oleh Allah swt. bagi orang-orang Mukmin untuk melatih sekaligus mencetak mereka menjadi pribadi yang lebih baik dibanding sebelum Ramadhan. Diharapkan setelah keluar dari bulan training center tersebut mereka memiliki sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan baik – baik yang bersifat vertikal maupun horizontal - yang belum dimiilki sebelum Ramadhan. Diharapkan setelah menjalani latihan selama Ramadhan, sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan baik yang telah mereka miliki meningkat intensitas, kualitas dan frekwensinya dibanding sebelum Ramadhan. Juga diharapkan setelah mengikuti pendidikan di sekolah Ramadhan mereka tidak lagi memiliki sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasan buruk yang dimilikinya sebelum Ramadhan.

Ada begitu banyak latihan di bulan Ramadhan. Di antara perbuatan baik yang dilatihkan oleh Allah swt.  Di dalam Ramadhan adalah qiro’atul qur’an, sedekah, i’tikaf, sholat sunnah rowatib, sholat sunnah tarawih, bangun malam untuk beribadah dan bangun malam untuk makan sahur. Sedangkan sifat dan kebiasaan buruk yang harus dilatih di dalam Ramadhan untuk ditinggalkan antara lain adalah berdusta, mencela, ghibah, menyiakan-nyiakan waktu terutama waktu-waktu yang istimewa seperti waktu sahur, dan memandang lawan jenis baik yang tertutup maupun yang terbuka auratnya dengan diiringi syahwat dan untuk tujuan memuaskan nafsu syahwat.
Jika sebelum Ramadhan seseorang tidak pernah atau jarang bangun malam, bulan Ramadhan melatih dan sekaligus mencetaknya menjadi pribadi yang senang, ringan, mudah dan terbiasa bangun malam di luar Ramadhan. Mengapa demikian? Karena selama bulan Ramadhan setiap Muslim yang wajib berpuasa disunahkan makan sahur agar mempunyai tenaga yang diperlukan untuk beraktivitas di pagi hingga menjelang berbuka puasa. Untuk bisa melaksanakan sunah tersebut, mau atau ogah-ogahan, berat atau ringan, dalam keadaan mengantuk atau tidak, mereka harus bangun di malam hari. 
Waktu makan sahur yang afdhol adalah di akhir malam yakni waktu sahur. Mengakhirkan makan sahur adalah sunah Rasulullah saw. Dengan demikian setelah menjalani training tersebut selama satu bulan di dalam bulan Ramadhan diharapkan setiap Muslim menjadi terbiasa, mudah, ringan dan senang qiyamullail di sepertiga malam terakhir di bulan-bulan selain Ramadhan.
Waktu sahur adalah waktu emas, waktu yang istimewa. Sebuah hadits Qudsi menjelaskan keistimewaannya.

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”
 
Dalam hadits lain Rasulullah saw, menyatakan keistimewaannya. ”Makan sahurlah kamu sekalian, karena di dalamnya terdapat keberkahan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Makna yang terkandung dalam kata keberkahan dalam hadits tersebut bukan hanya sekadar terbatas pada aktivitas makan dan minum saja dan pada makanan dan minumannya saja, namun juga pada amal ibadah lainnya yang dikerjakan pada waktu sahur seperti memohon ampun kepada Allah, sholat Lail dan qiro’atul Qur’an.

 “(yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali ‘Imran [3]:17)
Waktu sahur yang istimewa ini hanyalah milik orang-orang yang istimewa. Siapakah orang-orang yang istimewa tersebut? Mereka adalah orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berkeinginan menjadi orang bertaqwa atau meningkatkan derajat taqwa mereka. Hanya merekalah yang mampu memanfaatkan kesempatan emas tersebut dengan sebaik-baiknya.

Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?." Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]:15)

Ayat kelima belas dari Surat Ali ‘Imran tersebut terdapat kalimat “orang-orang yang bertaqwa”. Kedua ayat tersebut di atas saling berkaitan dan satu kesatuan. Dengan demikian dapat disimpulkan, salah satu ciri orang bertaqwa adalah memohon ampun kepada Allah swt. di waktu sahur sepanjang tahun baik di dalam maupun di luar Ramadhan.

Sudah maklum bahwa taqwa adalah buah dari puasa Ramadhan. Taqwa adalah tujuan berpuasa di bulan Ramadhan. Jika Anda berkeinginan kuat puasa Ramadhan Anda berhasil sesuai dengan targetnya yaitu membentuk Anda menjadi orang yang bertaqwa atau meningkat derajat taqwa Anda, maka tentu Anda tidak menyia-nyiakan waktu sahur di bulan Ramadhan dengan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang sia-sia seperti menonton TV.

Selama Ramadhan ini, sudahkah kelihatan bahwa Anda punya keinginan kuat? Itu bisa Anda lihat sendiri. Apakah Anda mengisi waktu sahur Anda selama ini dengan beraneka macam ibadah seperti istighfar, dzikir, membaca al-Qur’an dan sholat Lail? Jika ya, selamat buat Anda. Namun jika Anda sekadar melakukan perbuatan-perbuatan yang tak ada gunanya bagi kehidupan agama dan akhirat Anda seperti menonton TV, berarti keinginan Anda patut diragukan dan dipertanyakan.

Setelah Ramadhan usai nanti akan terlihat efektifitas puasa Ramadhan Anda. Efektifitasnya bisa Anda lihat sendiri. Apakah di sebelas bulan ke depan Anda terbiasa, ringan, mudah dan senang bangun di malam hari  untuk taqorrub ilallah? Ataukah Anda tidak terbiasa, berat, sulit dan tidak senang bangun di malam hari  untuk taqorrub ilallah?
Atau Anda termasuk orang yang suka bangun malam, tapi untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa menolong Anda di alam barzah dan di kampung akhirat kelak seperti menonton TV?

Hanya Anda sendiri yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Semoga kita dipertemukan lagi dengan Ramadhan tahun depan sehingga masih ada kesempatan lagi untuk melatih diri kita menjadi orang-orang yang bertaqwa atau meningkat derajat taqwa kita. Amin.