Selasa, 17 Januari 2012

Menangisnya Kekasih Allah

Nabi Zakaria a.s., sebagai seorang utusan Allah, kerap menyampai­kan ajaran-ajaran Allah kepada umatnya. Pesan-pesan yang disampaikannya senantiasa mengajak kaumnya untuk menyembah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Namun, sebelum ia menyampai­kan ayat-ayat Allah Swt. yang telah diwahyukan kepadanya, ia akan terlebih dahulu memerhatikan siapa saja yang bakal menjadi audiennya.

Apabila di antara mereka itu tidak terdapat Nabi Yahya a.s., ia akan membacakan ayat-ayat Allah yang berisi tentang ancaman siksa api neraka. Namun sebaliknya, apabila di antara audiennya itu terdapat putranya, yakni Nabi Yahya, tak sedikit pun ia menyinggung ayat-ayat yang berisi tentang ancaman siksa neraka.

Sebab, Nabi Zakaria a.s. paham betul bagaimana rentannya hati Nabi Yahya a.s. jika mendengar ayat-ayat Allah yang berisi tentang siksaan Allah Swt. Nabi Yahya a.s. selalu menangis jika mendengar ayat-ayat mengenai siksa neraka. Bahkan ia akan menyepi dan menangis sepanjang hari, sampai akhirnya ibunya datang membujuk dan menenteramkan hatinya.

Demikianlah ciri sifat Nabi Yahya a.s., sebagai tanda rasa takutnya kepada Allah dan kuatnya keimanan yang tertanam di dalam dirinya. Pernah, suatu ketika Nabi Zakaria a.s. akan menyampaikan ayat-ayat Allah kepada kaumnya. Sebagaimana yang biasa ia lakukan, ia akan memerhatikan dulu apakah di tengah orang yang hadir itu ada putranya atau tidak ada.

Setelah Nabi Zakaria a.s. memerhatikan dengan saksama tak melihat Nabi Yahya ikut hadir di situ, mulailah ia menyampai­kan ajaran-ajaran Allah Taala yang telah diwahyukan kepadanya. Ia juga menyertakan ayat-ayat yang berisi ancaman siksa neraka bagi mereka yang tak mau mengikuti apa yang telah ditentukan oleh Allah. Ketika menyampaikan ayat-ayat tersebut, Nabi Zakaria a.s. sendiri juga menangis. Itu tidak lain disebabkan rasa takutnya yang amat sangat kepada Allah Rabbul ‘Izzati.

Di tengah isak tangisnya itulah, Nabi Zakaria a.s. berkata kepada kaumnya:

"Malaikat Jibril telah mengabarkan kepadaku, bahwasanya di dalam Neraka Jahanam itu terdapat sebuah gunung yang disebut Sakrana. Gunung itu berasal dari sebuah jurang yang dinamakan Ghadhban. Sedang Ghadhban itu sendiri diciptakan dari murka Allah Yang Maha Kasih Sayang."

"Pada jurang Ghadhban tersebut," lanjut beliau, "terdapat beberapa sumur api. Kedalaman masing-masing sumur itu mencapai dua ratus tahun perjalanan di bumi ini. Di dalam setiap sumur, terdapat banyak rantai dan belenggu yang terbuat dari besi."

Bersamaan dengan itu, ternyata Nabi Yahya a.s. datang dan sempat mendengar ayat-ayat yang berisi mengenai ancaman siksa neraka itu. Nabi Yahya a.s. langsung melompat keluar dari majelis dan berlari pergi seraya berteriak-teriak, "Aduh, Sakrana..., aduh

Ghadhban..." Dalam waktu yang relatif singkat, Nabi Yahya a.s. telah menghilang dari pandangan Nabi Zakaria a.s. dan orang- orang yang hadir dalam majelis itu.

Melihat hal itu, Nabi Zakaria segera mengakhiri ceramahnya dan kemudian mengajak istrinya untuk pergi mencari Nabi Yahya yang telah lari entah ke mana. Mereka bertanya kepada orang- orang yang ditemui di sepanjang jalan, apakah mereka melihat orang yang memiliki ciri-ciri seperti putranya. Namun, sebagian besar orang tak mengetahui ke mana Nabi Yahya pergi.

Hingga sore hari, mereka masih tak mengetahui keberadaan Nabi Yahya. Dalam pencarian tersebut, Nabi Zakaria dan istrinya bertemu dengan seorang penggembala yang akan pulang ke rumahnya. Setelah bertanya kepada sang penggembala itu, Nabi Zakaria memperoleh jawaban, bahwa orang yang dicarinya tengah berada di atas gunung.

"Aku tadi melihatnya di atas gunung sana. Ia menangis seraya berkata tak akan makan dan minum sampai ia mengetahui apakah tempatnya bakal di dalam surga ataukah di neraka," ujar si penggembala itu.

Segera Nabi Zakaria dan istrinya mendaki gunung yang dimaksudkan. Setibanya di atas gunung, mereka memang melihat Nabi Yahya tengah duduk berdzikir. Sebagai seorang ibu yang sangat khawatir dengan keadaan putranya, istri Nabi Zakaria berjalan mendekati Nabi Yahya.

"Anakku yang telah kukandung dan kususui, kemarilah engkau, dan ayo kita pulang bersama," bisik ibunya perlahan.

Nabi Yahya segera menunjukkan kepatuhannya kepada sang ibu. Ia segera melangkah menuju ibunya dan mengikuti ayah dan ibunya pulang ke rumah. Setelah tiba di rumah, Nabi Zakaria meminta putranya itu untuk mengganti jubahnya dengan jubah

lainnya yang lebih bagus. Nabi Yahya menurutinya. Kemudian ibunya memasak gulai untuk makanan mereka bersama.

Usai makan, Nabi Yahya langsung tertidur. Di dalam tidurnya, tiba-tiba ia bermimpi ada suara yang memanggilnya.

"Hai Yahya, apakah engkau telah mendapatkan rumah yang lebih baik dari rumah-Ku dan tetangga yang lebih baik dari tetangga-Ku?" Demikian isi suara dalam mimpinya saat itu. Nabi Yahya langsung terbangun dan menangis kembali.

Seraya masih tetap menangis, ia meminta kepada ayahnya agar mengembalikan lagi jubah miliknya yang ia pakai semula. Kemudian ia mengembalikan jubah barunya kepada ayahnya. Nabi Zakaria menuruti kehendak putranya itu. Sebab, ia tahu betul bahwa semua itu dilakukan anaknya karena rasa takutnya kepada Allah.

Tatkala ibadah mereka bertambah kuat, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Zakaria yang berbunyi: "Sesungguhnya Aku telah mengharamkan neraka bagikalian semua" Ayat itu menjadi kabar gembira bagi keluarga Nabi Zakaria, bahwa mereka telah dijamin Allah untuk masuk ke dalam surga-Nya.

Karena kepatuhan, ketaatan dan ketakutan mereka kepada Sang Pencipta itulah, Allah kemudian memuji keluarga Nabi Zakaria dalam Al-Quran Surah Al-Anbiya` ayat 90 yang berbunyi: "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera di dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, dan mereka berdoa kepada Kami dengan rasa harap dan cemas. Dan mereka termasuk orang-orang yang khusyuk kepada Kami" (QS Al-Anbiya` [21]: 90)



Disadur dari buku terbitan Darul Hikmah, karya Ummi Alhan Ramadhan Mazayasyah           

Mutiara Hikmah, Kisah Para Kekasih Allah

Senin, 16 Januari 2012

Putri Dzun Nun Al-Mishri

Dzun Nun menjadi paham dan sadar, bahwa ternyata Allah menurunkan hidangan dari langit itv bukanlah karena ibadahnya, melainkan karena rahmat Allah atas put rinya. Buktinya, setelah putrinya itu wafat, hidangan dari langit itu pun tak pernah turun lagi.

Dzun Nun Al-Mishri adalah salah seorang tokoh sufi dari wilayah Ikhmim di Mesir. Nama lengkapnya idalah Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim Al-Mishri. Di samping clikenal sebagai seorang tokoh sufi, Dzun Nun juga merupakan salah seorang ahli kimia dan memahami tulisan-tulisan Mesir kuno. Keahlian dalam bidang yang terakhir inilah yang kemudian membuat Dzun Nun banyak terlibat di dalam dunia sastra.

Semasa hidupnya, Dzun Nun banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah di wilayah Arab, termasuk Syiria. Kendati ia memiliki tingkat ilmu yang cuk ip tinggi, ia tak segan-segan mendatangi beberapa guru untuk belajar agama. Kiprahnya di bidang penyebaran agama, membuat Dzun Nun pernah ditangkap dan dipenjarakan di kota Bagdad, sekitar tahun 829 M (204 H). Penyebabnya adalah ia dituduh sebagai dalang yang telah menyebarkan bidah di dalam agama Islam. Akan tetapi, penangkapan itu tak berlangsung lama, karena tuduhan tersebut dianggap tidak terbukti.

Di dalam sebuah riwayat disebutkan, Dzun Nun Al-Mishri memiliki seorang anak perempuan yang sangat saleh seperti ayah­nya. Ketika putrinya itu masih berusia sangat belia, Dzun Nun pernah mengajaknya pergi berdua ke laut untuk menjala ikan. Sesampainya di tepi laut, Dzun Nun mulai berjalan ke dalam air laut untuk menebarkan jalanya. Sedangkan putrinya yang masih kanak-kanak itu menunggunya di tepi pantai.

Setelah beberapa lama kemudian, Dzun Nun menarik jalanya. Tampaklah seekor ikan yang cukup besar tertangkap di dalam jalanya. Dzun Nun merasa sangat gembira. Ia segera bermaksud melepaskan ikan tersebut dari jalanya dan disimpan di dalam wadah yang sudah disiapkan. Akan tetapi, putrinya segera mengambil ikan itu dan melepaskannya kembali ke dalam air laut. Ikan itu pun berenang menuju ke tengah lautan.

Diajak Bersabar

Melihat perbuatan putrinya itu, Dzun Nun menjadi terpera­ngah. "Mengapa engkau membuang ikan hasil jerih payah kita itu?" tanya Dzun Nun kepada putrinya dengan nada heran.

"Aku menyaksikan ikan itu tengah menggerak-gerakkan mulutnya. Sesungguhnya ia sedang berdzikir kepada Allah. Aku tidak mau memakan makhluk yang berdzikir kepada-Nya," jawab putrinya yang masih lugu itu dengan santai.

Dzun Nun terdiam. Ia menghela nafas seraya bergumam, "Apa lagi yang harus kita lakukan?"

Putri Dzun Nun memegang tangan ayahnya sambil berkata: "Bersabarlah, Ayah. Kita sebaiknya berserah diri kepada Allah. Sesungguhnya Allah akan memberi kita rezeki berupa sesuatu yang tidak berdzikir kepada-Nya "

Alhasil, Dzun Nun mengikuti saran putrinya. Mereka hanya duduk di tepi pantai tanpa menjala ikan lagi. Akan tetapi duduknya mereka saat itu bukan sekadar duduk seperti orang pada umumnya, melainkan sambil mengolah hati mereka agar pasrah kepada kehendak Allah.

Mereka berdua memilih melaksanakan shalat di tepi pantai itu seraya berserah diri kepada Allah. Hingga sore hari, tak ada sesuatu pun yang terjadi. Bahkan, sampai dengan waktu isya, tak ada sedikit makanan pun yang dapat mereka makan.

Dalam kondisi perut yang tengah lapar itu, tiba-tiba turun­lah sebuah baki dari langit yang berisi aneka makanan yang lezat. Bahkan, bukan hanya saat itu saja. Hidangan dari langit itu juga hadir di hadapan mereka, ketika Dzun Nun dan putri­nya sudah berada di rumah. Setiap malam, ketika telah masuk waktu isya, Dzun Nun selalu memperoleh hidangan dari langit yang sangat lezat.

Selama dua belas tahun, hidangan dari langit itu menjadi menu makan malam mereka secara terus-menerus. Sampai suatu ketika, putri Dzun Nun meninggal dunia. Malam harinya, hidangan dari langit itu pun tak kunjung datang lagi. Melihat kejadian itu, tersadarlah Dzun Nun tentang keistimewaan putrinya.

Selama dua belas tahun itu, ia mengira bahwa Allah menurunkan hidangan dari langit itu adalah karena kekhusyukan-nya dalam beribadah kepada Allah. Akan tetapi, malam itu, Dzun Nun menjadi paham dan sadar, bahwa ternyata Allah menurunkan hidangan dari langit itu bukanlah karena ibadahnya, melainkan karena rahmat Allah atas putrinya. Buktinya, setelah putrinya itu wafat, hidangan dari langit itu pun tak pernah turun lagi.


Disadur dari buku Mutiara Hikmah, Kisah Para Kekasih Allah, karya Ummi Alhan Ramadhan Mazayasyah, Penerbit Darul Hikmah,

Senin, 02 Januari 2012

4 Tahap Menuju Allah


Oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah

(Disampaikan pada Tabligh Akbar pada tanggal 15 November 2011 di
Sukarami, Padang yang dihadiri oleh Syaikh Jibril, salah satu mursyid
Tariqah Naqsyabandiyah Haqqani)

Materi "Dialog tentang Ketuhanan" di Masjid Baitul Ihsan, Bank
Indonesia,

23 Desember 2011 atas kerjasama Manajemen Masjid Baitul Ikhsan

dan Tasawuf Islamic Center Indonesia.

Pembicara: Dr. Ahmad Rahman, MAg (Ahli Peneliti Utama Balitbang Kemenag
RI & Pembimbing TICI)

Moderator: Dr. Nawiruddin Dg Tola, M.Ag (Dosen UIN Syarif Hidayatullah)

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Asyhadu an laa ilaaha illa Allaah wa Asyhadu anna Muhammadan rasuul
Allah 3X

Segala puji bagi Allah, yang masih saja melimpahkan kasih sayang-Nya
kepada kita, yang tak jemu-jemunya, yang tak bosan-bosannya melihat
perangai kita. Namun, dengan kasih sayang-Nya, Allah kumpulkan kita di
masjid ini. Selawat dan salam atas junjungan kita Rasulullah Muhammad
Saw. Juga mari kita kirimkan surat al-Fatihah kepada orang tua kita dan
orang-orang yang telah mendahului kita, Al-Faatihah (dibacakan Tuangku
dan diikuti oleh seluruh jamaah), serta kepada guru-guru yang kita
cintai, Al-Faatihah (dibacakan Tuangku dan diikuti oleh seluruh jamaah).

Bapak-Ibu yang Allah rahmati…

Dalam dunia tariqah itu, ada empat perjalanan yang umumnya kita lewati.

Yang pertama adalah zikir atau ingat.

Yang kedua adalah rasa

Yang ketiga adalah penyaksian

Yang keempat adalah mahabbah atau cinta

Dzikir

Dzikir atau ingat. Sebaik-baik zikir adalah zikir yang melahirkan rasa
dekat kepada Allah Swt, bukan zikir yang melahirkan jumlah bilangan.
Sebaik-baik zikir yang kita laksanakan adalah bagaimana zikir itu dapat
melahirkan rasa dekat kepada Allah.

"Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku dan kamu tidak ada perantara.
Jikalau ada perantara, perantara itulah Aku." (Ilham Sirriyah, pen.)

Allah dengan manusia tiada perantara. Allah lebih dekat daripada kata
yang keluar dari lidah kita. Allah lebih dekat daripada pikiran yang
keluar dari akal kita. Dia lebih dekat daripada rasa yang keluar dari
hati kita. Mengapa kita tidak bisa merasa dekat dengan Allah? Zikir yang
melahirkan rasa dekat kepada Allah, inilah sebaik-baik zikir.

Rasa

Rasa dekat bukan tujuan kita (menuju Allah, pen.). sering bagi kalangan
sufi atau orang-orang tariqah muncul dalam dirinya rasa dekat kepada
Allah. Namun, rasa dekat kepada Allah bukan tujuan kita (para salik,
pencari Tuhan, pen.). Rasa dekat kepada Allah hanya menjadi batu
loncatan bagi kita untuk menyaksikan dari hati kita bahwasanya Allah
lebih dekat dariapda nurani kita sendiri. Rasa dekat hanya sebagai batu
loncatan. Jangan kita merasa sudah sampai sana (kepada Allah), (jangan
pula merasa inilah puncak segala-galanya!!!) Ingat, Allah bukan di dalam
rasa, tetapi Allah ada di balik rasa, di puncak rasa (yaitu, dimana
tiada lagi rasa yang dirasakan oleh seorang hamba kecuali yang ada
hanyalah Allah, termasuk tidak merasakan keberadaan dirinya sendiri,
pen.).

Rasa dekat apabila sudah sampai kepada kita, harus diiringi dengan hati
yang suci atau bersih. Apakah hati yang suci itu? Hati yang suci itu
bukan saja bebas dari penyakit hati, dan hati yang kotor bukan hati yang
berbintik-bintik. Hati yang kotor adalah hati yang masih bergantung pada
selain kepada Allah. Itulah hati yang kotor. Percuma kita sekarang ini
berzikir, belajar tariqah, merasa dekat, tetapi masih membiarkan hati
kita bergantung kepada selain Allah. Hati yang hanya bergantung kepada
Allah ialah hati yang nol, atau hati yang kosong. Yang kosong itu akan
diisi oleh Allah. Bagaimana kita akan melihat bulan di tengah hari di
saat cahaya matahari masih terik. Bila ingin melihat bulan yang sempurna
maka lihatlah di malam hari (di saat tidak ada cahaya lain selain cahaya
bulan, pen.). Hilangkan segala ketergantungan kita kecuali hanya kepada
Allah. Masalah hati kita akan diisi atau tidak itu urusan Allah. Tugas
kita hanyalah membersihkan hati kita.

Penyaksian

Sesungguhnya, ketika seseorang telah sampai pada maqam pembersihan,
dimana hijabnya sudah terbuka, maka dengan rasa dekat yang dia miliki
akan merasakan betapa nyata Tuhannya, betapa nyata Allah itu, lebih
nyata daripada dirinya sendiri. Allah lebih nyata daripada keberadaan
dirinya sendiri. Pada saat itu, Allah tetap menjadi Allah sebagai Tuhan,
dan kita tetaplah menjadi hamba, dan tidak akan pernah hamba akan
menjadi Tuhan. Ibarat benda dengan bayangannya. Benda dengan bayangannya
mustahil bercerai, tetapi juga mustahil pula benda dengan banyangannya
bersatu. Benda akan tetaplah menjadi benda dan bayangan tetaplah akan
menjadi bayangan. Begitulah kondisi antara kita dengan Allah. Jangan
menjadikan rasa dekat itu menjadi tujuan. Rasa dekat itu kita jadikan
sebagai hewan tunggangan menuju Allah.

Bapak Ibu yang Allah rahmati.

Mari, kita sepenuhnya bergantung hanya kepada Allah. Lepaskan
ketergantungan kita kepada yang lain. Bagaimana caranya? Caranya adalah
timbulkan kebutuhan kita kepada Allah. Sekarang, mari kita tanya diri
kita masing-masing. Apakah hari ini kita butuh kepada Allah? Butuh Allah
hanya di dalam shalat! Butuh Allah ketika di rumah sakit! Butuh Allah
setelah melihat saudara kita meninggal! Sedangkan para pecinta Allah,
kebutuhannya kepada Allah adalah di setiap saat. Tersandung kakinya pun
ia butuh kepada Allah. Dan orang yang bisa memiliki rasa butuh dengan
Allah hanyalah orang-orang yang benar-benar tahu betapa banyak nikmat
Allah kepada dirinya. Dia benar-benar tahu bahwa betapa lemahnya
dirinya. Namun, orang-orang yang merasa dia yang kuat, dia yang
berjalan, dia yang bergerak, tidak akan memunculkan rasa kebutuhannya
kepada Allah. Orang yang nol, orang yang kosong, orang yang benar-benar
menganggap dirinya tidak ada daya upaya, ialah yang akan menimbulkan
rasa butuh kepada Allah, yang selanjutnya akan menimbulkan rasa memiliki
Allah. Saya sering menyampaikan bahwasanya negara kita ini adalah negara
yang beragama, tapi belum bertuhan. Negara kita ini adalah negara
bertuhan, tapi belum memiliki Tuhan. Inilah tariqah dan ajaran kita,
bagaimana kita menggali agar merasa benar-benar beragama bertuhan, dan
memiliki Tuhan.

Semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Tambahan dari penulis:

Cinta

Dalam beberapa majelis Tuangku, sering menyampaikan bahwa buah dari
penyaksian akan melahirkan cinta. Semakin sering berjumpa dengan Allah
maka akan melahirkan kerinduan untuk selalu berjumpa dengan-Nya. Rindu
itu adalah tiang dari cinta. Seorang hamba yang telah memiliki rasa
cinta, maka seluruh hidupnya diabdikan dan dipersembahkan kepada Allah
sebagai pembuktian cinta pada-Nya.

Transkriptor: Zubair

Diambil dari www. youtube.com

DISKUSI TENTANG KETUHANAN (MUKHATHABAH ILAHIYAH) Tasawuf Islamic
Centre Indonesia (TICI) bekerja sama dengan Manajemen Masjid Baitul
Ihsan, Bank Indonesia (MMBI) rutin diselenggarakan setiap hari Jumat
mulai pukul 17.00 WIB, dilanjutkan shalat Maghrib s/d Shalat Isya.
Bertempat di Basement Mesjid Baitul Ihsan, Bank Indonesia, Jl. Budi
Kemuliaan No. 23, Jakarta Pusat,