Berlatar belakang inilah, kami menyusun risalah ini. Dengan tujuan agar kaum muslimin yang telah mengenal agama Islam yang hanif ini dan telah mengenal lebih mendalam ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mengetahui bagaimanakah kiat agar tetap istiqomah dalam beragama, mengikuti ajaran Nabi dan agar bisa tegar dalam beramal. Semoga bermanfaat.
Keutamaan
Orang yang Bisa Terus Istiqomah
Yang
dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan
tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan
semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua
bentuk larangan-Nya.[1] Inilah pengertian istiqomah yang disebutkan oleh Ibnu
Rajab Al Hambali.
Di
antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka
istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa
sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan
Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)
Yang dimaksud dengan istiqomah di sini
terdapat tiga pendapat di kalangan ahli tafsir:
- Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
- Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
- Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.[2]
Dan
sebenarnya istiqomah bisa mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya tidak
saling bertentangan.
Ayat
di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan
ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar gembira padanya ketika maut menjemput[3]
“Janganlah takut dan janganlah bersedih“. Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid
bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah takut pada akhirat yang akan
kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu
anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti
yang akan mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar gembira berupa surga
yang dijanjikan. Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari
berbagai macam kejelekan. [4]
Zaid
bin Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan ketika
maut menjemput, namun juga ketika di alam kubur dan ketika hari berbangkit.
Inilah yang menunjukkan keutamaan seseorang yang bisa istiqomah.
Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”[5]
Yang
serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap
istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada
(pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di
dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al
Ahqaf: 13-14)
Dari
Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».
“Wahai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam
(agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak
(perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits
Abu Usamah dikatakan, "selain engkau"]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“,
kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.”[6] Ibnu Rajab mengatakan,
“Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah mencakup wasiat
dalam agama ini seluruhnya.”[7]
Pasti
Ada Kekurangan dalam Istiqomah
Ketika
kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah,
terkadang kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara utuh. Lantas apa
yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“Katakanlah:
“Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku
bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada
jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS.
Fushilat: 6). Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar
(memohon ampun pada Allah).
Ibnu
Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun
kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam
istiqomah yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar
(memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah
(di jalan yang lurus).”[8]
Kiat
Agar Tetap Istiqomah
Ada
beberapa sebab utama yang bisa membuat seseorang tetap teguh dalam keimanan.
Pertama:
Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
Allah Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim
dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Tafsiran
ayat “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …”
dijelaskan dalam hadits berikut.
الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ .
الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ .
“Jika
seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
maka inilah tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia
dan di akhirat”.“[9]
Qotadah
As Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia
adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan sholih. Sedangkan di
akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab pertanyaan malaikat
Munkar dan Nakir, pen).” Perkataan semacam Qotadah diriwayatkan dari ulama
salaf lainnya.[10]
Mengapa
Allah bisa teguhkan orang beriman di dunia dengan terus beramal sholih dan di
akhirat (alam kubur) dengan dimudahkan menjawab pertanyaan malaikat “Siapa
Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”? Jawabannya
adalah karena pemahaman dan pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua
kalimat syahadat. Dia tentu memahami makna dua kalimat syahadat
dengan benar. Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta dia pula tidak menerjang
larangan Allah berupa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu berbuat syirik.
Oleh
karena itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa beragama dengan
baik yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para sahabat
yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan tersebut,
ia akan sibuk belajar agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid
dan juga menguasai kesyirikan yang sangat keras Allah larang sehingga harus
dijauhi. Oleh karena itu, jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan
senantiasa mendapatkan pertolongan Allah.
Kedua:
Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya.
Allah
menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al
Qur’an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah:
“Ruhul Qudus (Jibril)[11]
menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati)
orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)
Oleh
karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan
hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam
ayat,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا
“Berkatalah
orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya
dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqon:
32)
Al
Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. [12]
Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang
ragu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Al
Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS.
Fushilat: 44). Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi Al Qur’an sebagai
cahaya dan keberkahan serta sebagai obat penawar bagi orang-orang beriman.”[13]
Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, “Katakanlah wahai Muhammad, Al Qur’an
adalah petunjuk bagi hati orang beriman dan obat penawar bagi hati dari berbagai
keraguan.”[14]
Oleh
karena itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang yang
gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya menyibukkan
diri dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat merenungkan
Al Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini.
Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.
Ketiga:
Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah
Maksudnya
di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at
atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam
beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali saja dilakukan.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, beliau
mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan
yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu
sedikit.” ‘Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan
keras untuk merutinkannya. [15]
An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit
namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma
sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan
akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat
dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh
Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen
dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan
amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[16]
Ibnu
Rajab Al Hambali menjelaskan, “Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun
melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau
pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar.”[17] Yaitu
Ibnu ‘Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
“Wahai
‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat
malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”[18]
Selain
amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah
masuknya virus “futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali
namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika
seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan
hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita
dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.
Keempat:
Membaca kisah-kisah orang sholih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam
istiqomah.
Dalam
Al Qur’an banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang
beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari
kisah-kisah tersebut ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah Ta’ala
berfirman,
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan
semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu
kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”
(QS. Hud: 11)
Contohnya
kita bisa mengambil kisah istiqomahnya Nabi Ibrahim.
قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آَلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69) وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70)
قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آَلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69) وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70)
“Mereka
berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar
hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi
keselamatanlah bagi Ibrahim”. mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim,
maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al
Anbiya’: 68-70)
Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
آخِرَ قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ أُلْقِىَ فِى النَّارِ حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
آخِرَ قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ أُلْقِىَ فِى النَّارِ حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Akhir
perkataan Ibrahim ketika dilemparkan dalam kobaran api adalah “hasbiyallahu
wa ni’mal wakil” (Cukuplah Allah sebagai penolong dan sebaik-baik tempat
bersandar).”[19] Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Ibrahim dalam menghadapi
ujian tersebut? Beliau menyandarkan semua urusannya pada Allah, sehingga ia pun
selamat. Begitu pula kita ketika hendak istiqomah, juga sudah seharusnya
melakukan sebagaimana yang Nabi Ibrahim contohkan. Ini satu pelajaran penting
dari kisah seorang Nabi.
Begitu
pula kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dalam
firman Allah,
فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ, قَالَ كَلا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ, قَالَ كَلا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Maka
setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa:
“Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali
tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi
petunjuk kepadaku”.” (QS. Asy Syu’aro: 61-62). Lihatlah bagaimana keteguhan
Nabi Musa ‘alaihis salam ketika berada dalam kondisi sempit? Dia begitu yakin
dengan pertolongan Allah yang begitu dekat. Inilah yang bisa kita contoh.
Oleh
karena itu, para salaf sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang
sholih agar bisa diambil teladan sebagaimana mereka katakan berikut ini.
Basyr
bin Al Harits Al Hafi mengatakan,
أَنَّ أَقْوَامًا مَوْتَى تَحْيَا القُلُوْبَ بِذِكْرِهِمْ وَأَنَّ أَقْوَامًا أَحْيَاءَ تَعْمَى الأَبْصَارَ بِالنَّظَرِ إِلَيْهِمْ
أَنَّ أَقْوَامًا مَوْتَى تَحْيَا القُلُوْبَ بِذِكْرِهِمْ وَأَنَّ أَقْوَامًا أَحْيَاءَ تَعْمَى الأَبْصَارَ بِالنَّظَرِ إِلَيْهِمْ
“Betapa
banyak manusia yang telah mati (yaitu orang-orang yang sholih, pen) membuat
hati menjadi hidup karena mengingat mereka. Namun sebaliknya, ada manusia yang
masih hidup (yaitu orang-orang fasik, pen) membuat hati ini mati karena melihat
mereka.“[20] Itulah orang-orang sholih yang jika dipelajari jalan hidupnya
akan membuat hati semakin hidup, walaupun mereka sudah tidak ada lagi di
tengah-tengah kita. Namun berbeda halnya jika yang dipelajari adalah
kisah-kisah para artis, yang menjadi public figure. Walaupun mereka
hidup, bukan malah membuat hati semakin hidup. Mengetahui kisah-kisah mereka
mati membuat kita semakin tamak pada dunia dan gila harta. Wallahul
muwaffiq.
Imam
Abu Hanifah juga lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding
menguasai bab fiqih. Beliau rahimahullah mengatakan,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“Kisah-kisah
para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa
bab fiqih Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur
mereka.“[21]
Begitu
pula yang dilakukan oleh Ibnul Mubarok yang memiliki nasehat-nasehat yang
menyentuh qolbu. Sampai-sampai ‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan mengenai Ibnul
Mubarok, “Kedua mataku ini tidak pernah melihat pemberi nasehat yang paling
bagus dari umat ini kecuali Ibnul Mubarok.“[22]
Nu’aim
bin Hammad mengatakan, “Ibnul Mubarok biasa duduk-duduk sendirian di rumahnya.
Kemudian ada yang menanyakan pada beliau, “Apakah engkau tidak kesepian?” Ibnul
Mubarok menjawab, “Bagaimana mungkin aku kesepian, sedangkan aku selalu
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [23] Maksudnya, Ibnul Mubarok
tidak pernah merasa kesepian karena sibuk mempelajari jalan hidup Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Itulah
pentingnya merenungkan kisah-kisah orang sholih. Hati pun tidak pernah kesepian
dan gundah gulana, serta hati akan terus kokoh.
Kelima:
Memperbanyak do’a pada Allah agar diberi keistiqomahan.
Di
antara sifat orang beriman adalah selalu memohon dan berdo’a kepada Allah agar
diberi keteguhan di atas kebenaran. Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji
orang-orang yang beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta keteguhan
iman ketika menghadapi ujian. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146) وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147) فَآَتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (148
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146) وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147) فَآَتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (148
“Dan
berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang
menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada
musuh). Allah menyukai orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya
Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang
berlebih-lebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah pendirian kami, dan
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir‘. Karena itu Allah memberikan
kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali ‘Imran: 146-148).
Dalam
ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Ya
Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian
kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 250)
Do’a
lain agar mendapatkan keteguhan dan ketegaran di atas jalan yang lurus adalah,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya
Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah
Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari
sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS.
Ali Imron: 8)
Do’a
yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Ya
muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan
hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
Ummu
Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam seraya menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
“Wahai
Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari
Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam
iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.“[24]
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا
“Sesungguhnya
hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.“[25]
Keenam:
Bergaul dengan orang-orang sholih.
Allah
menyatakan dalam Al Qur’an bahwa salah satu sebab utama yang membantu
menguatkan iman para shahabat Nabi adalah keberadaan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Bagaimana
mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah
dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan
barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia
telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101)
Allah
juga memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Allah Ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar
bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati
kita.
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang
yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan
berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak
dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat
baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan
atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.”
[26]
Ibnu
Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan
orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga
menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan
manfaat dalam agama dan dunia.”[27]
Para
ulama pun memiliki nasehat agar kita selalu dekat dengan orang sholih.
Al
Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ
“Pandangan
seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.“[28] Maksud
beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati seseorang bisa kembali
tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang sholih dahulu kurang semangat dan tidak
tegar dalam ibadah, mereka pun mendatangi orang-orang sholih lainnya.
‘Abdullah
bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan
semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”
Ja’far
bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju
Muhammad bin Waasi’.”[29]
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[30]
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[30]
Itulah
pentingnya bergaul dengan orang-orang yang sholih. Oleh karena itu, sangat
penting sekali mencari lingkungan yang baik dan mencari sahabat atau teman
dekat yang semangat dalam menjalankan agama sehingga kita pun bisa tertular
aroma kebaikannya. Jika lingkungan atau teman kita adalah baik, maka ketika
kita keliru, ada yang selalu menasehati dan menyemangati kepada kebaikan.
Kalau
dalam masalah persahabatan yang tidak bertemu setiap saat, kita dituntunkan
untuk mencari teman yang baik, apalagi dengan mencari pendamping hidup yaitu
suami atau istri. Pasangan suami istri tentu saja akan menjalani hubungan bukan
hanya sesaat. Bahkan suami atau istri akan menjadi teman ketika tidur. Sudah
sepantasnya, kita berusaha mencari pasangan yang sholih atau sholihah. Kiat ini
juga akan membuat kita semakin teguh dalam menjalani agama.
Demikian
beberapa kiat mengenai istiqomah. Semoga Allah senantiasa meneguhkan kita di
atas ajaran agama yang hanif (lurus) ini. Wahai Dzat yang Maha
Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu.
***
Diselesaikan
di Panggang, Gunung Kidul, 20 Dzulhijah 1430 H
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
[1] Jaami’ul ‘Ulum
wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 246, Darul Muayyid, cetakan pertama,
tahun 1424 H.
[2] Lihat Zaadul
Masiir, Ibnul Jauziy, 5/304, Mawqi’ At Tafasir.
[3] Ini pendapat
Mujahid, As Sudi dan Zaid bin Aslam. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
Ibnu Katsir, 7/177, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[4] Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, 7/177.
[5] Jaami’ul ‘Ulum
wal Hikam, hal. 245.
[6] HR. Muslim no. 38.
[7] Jaami’ul ‘Ulum
wal Hikam, hal. 246.
[8] Idem
[9] HR. Bukhari no.
4699 dan Muslim no. 2871, dari Al Barro’ bin ‘Azib.
[10] Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, 4/502.
[11] Malaikat Jibril
disebut ruhul qudus oleh Allah agar beliau tersucikan dari segala macam ‘aib,
sifat khianat, dan kekeliruan (Lihat Taisir Al Karimir Rohman,
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 449, Muassasah Ar Risalah, cetakan
pertama, tahun 1423 H). Sehingga tidak boleh dikatakan bahwa Jibril
memanipulasi ayat atau menyatakan bahwa Al Qur’an adalah perkataan Jibril dan
bukan dari Allah. Ini sungguh telah menyatakan Jibril khianat dalam
menyampaikan wahyu dari Allah. Wallahul muwaffiq.
[12] Lihat Wasa-il
Ats Tsabat, Syaikh Sholih Al Munajjid, hal. 2-3, Asy Syamilah.
[13] Lihat Jaami’ul
Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 21/438, Muassasah Ar
Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[14] Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, 7/184.
[15] HR. Muslim no.
783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan sholat malam
yang kontinu dan amalan lainnya.
[16] Syarh Muslim,
An Nawawi, 6/71, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, tahun 1392 H.
[17] Fathul Baari
lii Ibni Rajab, 1/84, Asy Syamilah
[18] HR. Bukhari no.
1152.
[19] HR. Bukhari no.
4564.
[20] Shifatush
Shofwah, Ibnul Jauziy, 2/333, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, tahun
1399 H.
[21] Al Madkhol,
1/164, Mawqi’ Al Islam
[22] Shifatush
Shofwah, 1/438.
[23] Idem.
[24] HR. Tirmidzi no.
3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[25] HR. Ahmad
(3/257). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy
(kuat) sesuai syarat Muslim.
[26] HR. Bukhari no.
2101, dari Abu Musa.
[27] Fathul Bari,
Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/324, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379
[28] Siyar A’lam
An Nubala’, 8/435, Mawqi’ Ya’sub.
[29] Ta’thirul
Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afani, hal. 466, Darul
‘Affani, cetakan pertama, tahun 1421 H
[30] Lihat Shahih
Al Wabilush Shoyyib, antara hal. 91-96, Dar Ibnul Jauziy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar