Alhamdulillah, Allah telah mempertemukan kembali
kita dengan Iedul Adha atau Iedul Qurban. Kita juga bersyukur dan berdo’a agar
saudara-saudara kita yang melaksanakan ibadah Haji tahun ini diberikan kekuatan
dan kesehatan oleh Allah sehingga dapat menjalankan seluruh rangkaian ibadah
hajinya dengan aman, lancar dan selamat. Semoga pula mereka dapat kembali ke
tanah air dengan sehat dan selamat dan menjadi Haji yang Mabrur.
Seperti kita ketahui, dalam ibadah haji ada tiga
kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu wukuf di
Arafah, mabit di
Muzdalifah dan klimaksnya melempar jumrah di
Mina. Tanpa melaksanakan ketiga rangkaian kegiatan ini, ibadah haji seseorang
tidak syah.
Pertama,
wukuf di Arafah. Arafah adalah padang pasir yang luas. Di tempat
ini jutaan manusia berkumpul dengan hanya memakai dua helai kain tak
berjahit. Mereka menanggalkan baju kebesaran dunia dan melepaskan segala
atribut kepangkatan. Mulai dari raja sampai rakyat biasa, semua sama. Tidak ada
satupun yang memakai jas maupun pantalon, batik maupun safari.
Wukuf di
Arafah dilakukan siang hari, saat matahari terik menyengat. Semua duduk
bersimpuh berdzikir dan beristighfar. Di sini instink dan sifat
kemanusiaan dibangkitkan. Akal/rasio dan intelektualitas kita
ditempa untuk membaca diri dan alam sekitar, sehingga diharapkan muncul sifat arif. Sesuai dengan namanya, Arafah berarti pengetahuan dan sains . Karena Arafah inilah
pertama kali pengetahuan diberikan kepada manusia melalui orang tua kita,
Adam AS. “Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya….” (Al Baqarah 31). Dengan ilmu pengetahuan inilah manusia mengolah alam ini untuk
memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri.
Kedua,
Miqat di Muzdalifah. Muzdalifah atau
Mas’ar, adalah tempat membina keasadaran dan subjektifitas. Miqat di Muzdalifah
dilakukan pada malam hari, di saat hari kelam, tidak ada penerangan, di
saat orang-orang tidur lelap. Di tempat ini, para hujjaj berdzikir dan merenung
sehingga timbul kesadaran ke-Mahabesaran Allah SWT. Betapa luasnya jagat raya,
langitnya berdiri kokoh tanpa ada tiang penyangga. Bintang dan planet-planet
bertebaran tanpa ada tali gantungan.
Di saat
miqat di tempat ini, para hujjaj beristighfar, bertaubat, meminta ampun
kepada Allah sambil mengungkapkan penyesalan atas pebuatan dosanya yang
telah dilakukan selama ini. Orang-orang yang sungguh-sungguh dalam melaksanakan
amalan ini, tak jarang airmatanya meleleh membasahi pipinya, bahkan menangis
sejadi-jadinya. Dan tangis di kala sepi sambil menyesali diri itulah tangis
yang akan mendekatkan kita kepada pengampunan Allah SWT, bukan tangis massal
yang dishoot oleh televisi.
Di
Muzdalifah ini emosipun dilatih, nurani ditempa untuk “membunuh” dan
menghilangkan sifat-sifat tercela yang menyebabkan amal kita ditolak oleh Allah
seperti: iri, dengki, jahil, benci, tamak, rakus, dan
egoisme. Dengan kesadaran inilah para hujjaj mempersiapkan diri, menyiapkan
senjata (berupa batu kerikil) untuk menyerang iblis guna membunuh sifat-sifat
jelak itu.
Ketiga,
Mina. Di tempat ini berdiri kokoh tiga tugu “monumental” yang
disebut “Jamarat”: Jumratul Ula, Jumratul Wustha dan Jumratul Aqabah.
Ketiganya melambangkan tiga Syetan yang harus diperangi.Di tempat ini, setelah
selesai melaksanakan sholat Subuh di Muzdalifah, para hujjaj bergerak dengan
gesit dan penuh semangat “menyerang ketiga iblis itu dengan menggunakan
“senjata terhunus” berupa batu-batu kerikil.
Syaitan
ini harus dilawan, karena ia selalu memperdaya manusia. Syaitan menyerang
titik-titik kelemahan manusia yaitu intelektual, kesadaran dan
keyakinan. Oleh karena itu gerakan penyerangan iblis di Mina melambangkan
harapan dan idealisme, serta perjuangan dalam membebaskan kita dari serangan
Syaitan terhadap ketiga titik kelemahan manusia itu.
Tiga
serangan Syaitan ini selalu kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ia dapat
berupa kekuasaan, ia dapat berupa materi atau harta/kekayaan dan juga bisa
dalam bentuk kehidupan sosial lainnya. Dalam Al Quran dicontohkan, ada Fir’aun,
yaitu lambang pemimpin yang dhalim dan penindas; Qarun, lambang kepitalis yang
rakus dan serakah; Hamman, lambang pejabat-pejabat yang munafik, dan Bal’am
adalah lambang penegak hukum yang berpihak pada penguasa dan pengusaha, bukan
pada kebenaran.
Ibadah
haji merupakan sarana untuk membina intelektualitas, kesadaran dan
kecintaan manusia terhadap kebenaran. Ibadah haji merupakan bentuk hubungan
interaktif dan ketaatan manusia kepada Allah dan sebagai bentuk hubungan antar
sesama manusia. Ibadah haji juga mengandung nilai‑nilai edukatif, yakni
membina jiwa seseorang menjadi mantap dan konsisten dalam menegakkan kebenaran
seperti halnya dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Isma’il. Nilai-nilai itu harus
diwujudkan dalam perilakunya sehari-hari. Bagi para hujjaj, Rasulullah
menyebutkan 2 ciri yang menonjol dari haji yang mambrur, yaitu: afsus-salam, wa ith’amuth-
tha’am.
Afsus- salam, artinya menyebarkan salam (keselamatan). Artinya ia
harus menjadi tempat bertanya orang yang tidak tahu, tempat meminta
pendapat bagi orang yang kebingungan, dan tempat meminta nasihat
orang-orang yang sedang kegelapan. Ini dapat difahami, karena karena
intelektual mereka telah terbina melalui proses perenungan di Arafah, di
Muzdalifah dan di Mina.
Sedangkan ith’amuth
tha’am, artinya dermawan, memiliki
solidaritas sosial yang tinggi, suka membantu dan peduli terhadap lingkungan
sekitarnya. Jiwanya gemetar jika ada orang lain yang susah. Ia sadar
bahwa harta yang dimilikinya adalah kepunyaan Allah yang setiap saat bisa diambil
kembali oleh Allah dengan berbagai cara.
Dengan demikian, ibadah Haji memiliki nilai
yang sangat penting bagi kita umat Islam Indonesia yang dewasa ini sedang diuji
oleh Allah dengan berbagai ujian, mulai dari ujian bersifat ekonomi, bencana
alam, sampai dengan drama Cicak lawan Buaya yang semakin hari semakin
membingungkan orang-orang yang bodoh, walaupun masyarakat sudah bisa menebak
bahwa dari pertarungan itu yang menang adalah kadal, karena
cicak dan buayapun dua-duanya berhasil dikadalin oleh
Kadal yang telah dikuasai oleh nafsu angkara murka dari manusia-manusia durjana
yang telah dikuasai Syaitan.
Karena itu kita mengingatkan
kepada para hujjaj, mari kita lanjutkan perang kita melawan tiga syaitan yang
kita lempari waktu lempar jumrah: pertama, Syaitan kecil, yaitu
syaitan yang menganggu pikiran dan intelektual manusia. Serangan dari Syaitan
kecil ini menyebabkan manusia malas belajar, tidak mau menggunakan
akal/pikiran. Akibatnya manusia menjadi bodoh dan terbelakang. Kedua, Syaitan sedang, yaitu syaitan yang menyerang kesadaran, sehingga
manusia lupa dan lalai menghadap Allah. Syaitan ini dapat berupa harta atau
kekayaan, pangkat, jabatan dan kedudukan, keluarga dan lain-lain. Jika
manusia sudah cinta kepada dunia, maka ajaran agama sering diabaikan,
agama sering dianggap enteng, lalu kemusyrikanpun merajalela. Ketiga, Syaitan
besar, yaitu hawa nafsu yang ada
dalam diri manusia, seperti ria, sombong, takabbur, rakus, tamak, dengki,
hasad, nifak, dan sebagainya.
Ketiga
Syaitan itu harus kita perangi, karena ketiga Syaitan itulah yang menyebabkan
manusia kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya. Jika manusia telah kehilangan
sifat-sifat kemanusiaannya, maka hati, mata dan telinga yang dimiliki
oleh manusia tidak berfungsi lagi. Itulah yang oleh Allah disebutkan
sebagai manusia yang :
“………
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah),
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu tak ubahnya seperti binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai”. (Al
–A’raf/7:179).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar