Sedikit tentang pikiran dan proses
berpikir.
Sebenarnya disini hanya ada dua entiti
saja yang saling berinteraksi, yaitu saya (kita) sebagai subjek dan sesuatu
yang lain sebagai objek. Kita dan objek itu saling terhubung oleh sebuah
“perhatian” yang sedang kita berikan. Sebuah pikiran adalah sebentuk objek yang
sedang menjadi pusat perhatian kita. Objek itu biasanya sesuatu yang dengan
mudah bisa kita kenali melalui VAKOG atau alat indera kita, yang kesemuanya
bisa kita sebut sebagai Objek Pikir saja.
Jadi yang disebut sebagai Pikiran itu adalah Objek Pikir yang sedang kita ambil perhatikan lebih terhadapnya.
Disini ada kita yang terlibat, ada
Objek Pikir sebagai pusat perhatian kita, dan ada pula Perhatian lebih yang
kita berikan terhadap Objek Pikir itu dibandingkan dengan Objek pikir lainnya.
Ketika kita sedang memberikan perhatian lebih kepada sebuah Objek Pikir, maka
kita disebut sebagai orang yang sedang berpikir. Sebaliknya, kalau kita sedang
tidak memberikan perhatian apa-apa kepada sebuah objek, maka kita juga
dikatakan sedang tidak berpikir. Itu saja kok. Sederhana kan?
Namun dalam kesederhanaan inilah seluruh problematika kita umat manusia ini berawal. Bahwa hampir-hampir saja kita semua tidak bisa lagi menerobos hambatan dan halangan dari berbagai macam objek pikir yang sedang menahan pergerakan ruhani kita menuju ketidakterbatasan.
Tanda-tandanya adalah kita seperti
telah berubah menjadi objek pikir kita sendiri. Kita menyangka dan merasa bahwa
diri kita adalah objek pikir kita sendiri. Kita terhalang dan tersiksa, hampir
disetiap saat dalam hidup kita. Bahkan di dalam beribadah sekalipun halangan
dan siksaan itu terjadi, sehingga ibadah kitapun nyaris seperti tidak berasa
dan hanya berdampak minimum kalau tidak mau dikatakan tidak bermanfaat sama
sekali.
Dan dari kesederhanaan ini pulalah peran penting Nabi-nabi, Rasul-Rasul, serta wali-wali Allah yang diutus oleh Allah bermula. Yaitu untuk memberikan contoh kepada kita, seluruh umat manusia ini, agar kita bisa pula dengan mudah dan sederhana menerobos segala hambatan dan halangan dari berbagai objek pikir yang silih berganti datang dan pergi menyergap kita.
Cara yang dicontohkan Beliau itupun
pastilah sangat sederhana pula. Sebab tidak mungkinlah suatu permasalahan yang
sebenarnya sangat sederhana saja, harus diselesaikan dengan sebuah solusi dan
metoda-metoda yang rumit. Tidaklah. Sehingga diharapkan pada akhirnya kita bisa
kembali dengan mudah menjadi diri yang merdeka, diri yang bebas tak terbatas,
diri yang seluas alam semesta, diri yang dalam bahasa arab disebut sebagai diri
yang Muthmainnah. Diri yang sedang dipanggil oleh Allah untuk menghadap kepada-Nya
secara sukarela dan diredhai.
Untuk bisa menjadi diri yang Muthmainnah ini, tidak ada cara lain kecuali hanya dengan cara Tadzkiyatunnafs (Penyucian Diri) seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah, sahabat Beliau, dan wali-wali Allah disetiap zaman sebagai pelanjut tradisi penyucian diri dari Beliau.
Dan itu pastilah mudah, praktis,
menyeluruh, sederhana, dan tentu saja dengan hasil yang maksimal. Kalau tidak,
pastilah ada kerancuan didalamnya. Dia pasti telah tercampur aduk dengan
berbagai tradisi penyucian diri ala berbagai olah VAKOG, atau bisa pula ala
tradisi olah Penyiksaan Diri lainnya, yang tentu saja caranya sulit, partial,
dan hasilnya juga tidak maksimal. Cuma ada sebuah pertanyaan yang cukup
menggelitik, siapakah yang berpikir?, siapakah kita?. Silahkan dijawab sendiri…
Bersambung
Deka
Deka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar