Jumat, 02 Desember 2011

Puasa Muharram Senin 9 Muharram 1433/ 5 Des 2011


Allah swt menjadikan 4 di antara 12 bulan yang ada sebagai bulan-bulan haram, yaitu Dzulkaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab berdasarkan firman-Nya :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ

Artinya : “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu,” (QS. At-Taubah [9] : 36)

Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Bakrah dari Nabi saw bersabda, ”Zaman telah berputar seperti keadaannya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi, setahun terdiri dari dua belas bulan dan diantaranya ada empat bulan haram, tiga bulan berturut-turut, yaitu : Dzulkaidah, Dzulhijjah dan Muharram sedangkan Rajab Mudhar berada diantara Jumadi (al akhiroh) dan Sya’ban.”

Bulan Muharram adalah salah satu bulan haram yang dianjurkan Rasulullah saw untuk banyak melakukan puasa di dalamnya berdasarkan sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurariroh berkata, ”Rasulullah saw bersabda, ’Puasa yang paling afdhol setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah al Muharram dan shalat yang paling afdhol setelah shalat fardhu adalah shalat malam.”

Didalam Syarhnya, Imam Nawawi mengatakan bahwa bulan ini (Muharram) adalah bulan yang paling utama untuk berpuasa.

Ada pendapat ulama yang menyebutkan bahwa yang paling utama untuk berpuasa dari bulan Muharram ini adalah sepuluh hari pertama, sebagaimana dikatakan al Mardawi didalam kitab “al Inshaf” bahwa yang paling utama dari bulan Muharram adalah hari kesepuluh atau Asyu’ra lalu hari kesembilan atau tasuua’a lalu sepuluh hari pertama.

Ibnu Rajab didalam kitab “Latha’if al Ma’arif” juga menyebutkan bahwa yang paling utama dari bulan Allah al Muharram adalah sepuluh hari pertama.’

Kemudian juga dinukil dari Abi ‘Utsman an Nahdiy berkata bahwa mereka menganggungkan sepuluh hari yang tiga, yaitu : sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.

Namun demikian tidak terdapat hadits shahih yang menjelaskan tentang keutamaan berpuasa pada sepuluh hari pertama dari bulan Muharram secara keseluruhan. (Markaz al Fatwa no. 43810)

Dan tidak pula terdapat dalil khusus yang menyebutkan bahwa berpuasa pada hari pertama (tanggal 1) dari bulan Muharram adalah sunnah akan tetapi yang di-sunnah-kan adalah memperbanyak berpuasa di bulan ini, sebagaimana penjelasan di atas. Dan jika seseorang melakukan puasa pada tanggal 1 Muharram karena anjuran memperbanyak puasa di bulan ini bukan karena kekhususan tanggal 1 Muharram maka ia telah melakukan sunnah berdasarkan hadits Abu Hurairoh di atas.

Sedangkan pada hari ke-9 (Tasuua’a) dan ke-10 (Asyura’) dari bulan Muharram maka dianjurkan bagi setiap muslim untuk melakukan puasa sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas berkata, ”Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada hari Asyura lalu beliau saw memerintahkan (para sahabat) untuk berpuasa.” 

Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Beliau saw menjawab, ”Untuk tahun depan, insya Allah kita berpuasa (juga) pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas berkata, ”Ternyata tahun depan tidaklah menemuinya hingga beliau saw wafat.”

Didalam Syarhnya, Imam Nawawi menyebutkan pendapat Syafi’i dan para pengikutnya, Ahmad, Ishaq dan ulama lainnya, ”Dianjurkan berpuasa pada hari ke-9 dan ke-10 sekaligus karena Nabi saw berpuasa pada hari ke-10 dan beliau saw telah berniat untuk berpuasa pada hari ke-9.

Sebagian ulama mengatakan bahwa bisa jadi sebab dari berpuasa pada hari ke-9 yang disertai hari ke-10 adalah agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ke-10, dan hadits diatas mengisyaratkan hal ini. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz IV hal 121)

Wallahu A’lam.


Jumat, 25 November 2011

Membeli Dunia Menjual Akhirat, Astagfirullah !!!

Sahabat seiman, Mentari telah bersinar, pertanda kesibukan hari telah dimulai kembali, siapkah pena diri tuk menggores kemuliaan..?, lihatlah, Allah telah menyediakan tintanya, kertasnya, bahkan referensi terbaik.. pantaskah bila coreng buram yang memenuhi, atau mengkoyak rusak indah lembarannya..?

Sahabat seiman, lembut firman Allah Swt menyentuh relung hati, artinya: “Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (Q.S. Al Baqoroh: 86)

Sahabat seiman, apa pendapatmu bila ada yang membeli seekor lalat dengan simpanan deposito yang tak akan habis dinikmati banyak generasi..? mungkin kita terheran-heran, tetapi siapakah yang terkejut melihat orang yang berlari mengejar secuil kesenangan dunia yang sementara dengan melupakan tugasnya, dan tatkala hampir meraihnya, tak kuasa lagi diri menikmati, tak ada waktu lagi yang tersisa.., saat itu seseorang baru kan memahami bahwa ia telah merelakan miliknya yang berharga tak terhingga demi mendapatkan kecilnya dunia..

Sahabat seiman, lihatlah hari ini begitu indah, kebaikan yang ditebar melimpah ruah,apalah hebatnya jika hanya dapat menghabiskan fasilitas yang tersedia? Siapapun bisa bila hanya sekedar menikmati karunia yang telah sempurna.. Sahabat.., seharusnya kita dapat menjual dunia tuk membeli kebahagiaan akhirat.., bukan malah membeli kebahagiaan dunia dengan mengorbankan akhirat.. jangan lupakan tugas, mari ukir kemuliaan, selamat beraktifitas! (SaiBah)

*Ditulis utk Masyarakat Muslim Perkantoran oleh Bid. Pembinaan dan Dakwah Forsimpta, www.dakwahkantor.com*

sumber

Rabu, 23 November 2011

ribath adalah

“Maukah kutunjukkan kepadamu apa yang dapat menghapus dosa dan meningkatkan derajat?” Para sahabat menjawab, “Baiklah ya Rasulullah!” Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudhu di saat kesukaran, banyaknya langkah ke masjid, menunggu sholat (berikutnya) sesudah menunaikan sholat. Itulah yang disebut ar-ribath. Itulah yang disebut ar-ribath (terikat karena menunaikan tugas).” (HR Muslim)

Hadits di atas kita dapati di dalam Riyadhus Sholihin di Bab Keutamaan Wudhu. Di dalamnya Rasulullah saw menyebutkan pentingnya ribath. Ribath biasanya dipergunakan dalam pengertian bersiap siaga menghadapi musuh namun dalam hadits di atas disebutkan bahwa menanti waktu-waktu sholat dengan bersiap dalam keadaan wudhu dan berjalan jauh ke masjid termasuk ribath. Ribath berasal dari kata robatho yang artinya mengikat.
Dalam Al Qur-an, yang dimaksud ribath adalah menyiapkan diri terikat dalam pembelaan Islam, sebagaimana firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siagalah (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS Ali Imraan: 200). Dalam ayat ini, Allah menggandengkan kata ribath dengan sifat shabar dan mushabaroh. Tanpa kesabaran dan memperkuat keshabaran (mushabaroh), ribath akan gagal. Shabar adalah menahan diri atas sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah. Sedangkan, mushabaroh artinya saling berbuat antara kedua pihak atau mengungguli musuh dalam kesabaran.
Ribath itu ada dua macam: Pertama, ribath (terikat) di front peperangan untuk membela dan menegakkan Islam. Ini lazimnya cukup ditangani oleh sebagian ummat Islam. Kedua, ribath (terikat) secara kejiwaan yaitu memelihara diri jangan sampai terjatuh ke dalam larangan Allah serta memaksa diri mengerjakan amal-amal sholeh dan membiasakannya terus menerus. Ribath ini wajib dikerjakan oleh seluruh Muslimin. Ribath jenis kedua tidak menggugurkan ribath yang pertama karena jihad membela Islam tetap berlangsung dan menjadi kewajiban Muslimin kapan pun dan di manapun manakala waktu dan kesempatannya terbuka.
Sementara itu, hadits di atas menjadi dalil bagi ribath jenis kedua ini. Karena di ujung hadits tersebut Rasulullah saw berkata, “Itulah yang disebut ar-ribath (terikat karena menunaikar tugas)”. Dengan kata lain, hadits menggambarkan betapa besarnya perhatian Rasulullah terhadap julus fi masajid (duduk di masjid). Rasulullah saw menjelaskan bahwa menghapus dosa dan meninggikan derajat dilakukan dengan memakmurkan masjid-masjid. Dengan menggunakan kata ribath, beliau memberikan perumpamaan seorang yang memakmurkan masjid tidak ubahnya sebagai mujahid yang berperang menghadapi musuh.
Berdasarkan hadits di atas yang disebut ribath dan akan menaikkan derajat serta menghapus dosa:
  1. Melakukan wudhu kendati di saat kesukaran air. Yaitu memelihara kesucian diri dengan kondisi bersiap melaksanakan sholat kapan pun dan di mana pun. Sebab, wudhu adalah diantara syarat sahnya sholat. Hal ini tergambar pada para sahabat Rasulullah yang mencintai kesuciaan dan tempat yang suci (masjid): “…Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (WS At Taubah: 108)
  2. Menunggu-nunggu waktu sholat dengan penuh harap berjumpa dengan Allah.
  3. Mendatangi masjid dengan sholat berjamaah meskipun tempatnya jauh. Nabi SAW bertanya kepada malaikat Jibril as, “Wahai Jibril, tempat manakah yang paling disenangi Allah?” Jibril AS menjawab, “Masjid-masjid dan yang paling disenangi adalah yang pertama masuk dan yang paling terakhir meninggalkannya…” (HR. Muslim)
Di tengah gencarnya sekularisasi dan ghazwul fikri (pertarungan pemikiran), setiap Muslim dituntut untuk bertahan di masjid sebagai benteng akidah dan akhlak kaum Muslimin. Apalagi seorang aktivis dakwah Islam, dia bukan hanya dituntut untuk melakukan ribath, tetapi juga meramaikan masjid.
Di masjid-masjid, rahmat dan kasih sayang Allah bertaburan. Maka dengan memperbanyak duduk di masjid, Muslim berorientasi mempertahankan masyarakat Islam. Adapun pengajian di masjid akan dengan mudah dibentuk manakala masjid-masjid telah menjadi tempat ribath para aktivis.
(Ditulis oleh M. Aminullah)

Obat Hati

Hati manusia terkadang tidak stabil atau sakit seperti halnya badan.
Meskipun berbeda antara sifat maupun obatnya. Apa obat yang bisa
dipakai untuk mengobati hati yang sakit? Berikut ini kami sebutkan 8
obatnya. Semoga bermanfaat.

Pertama: al-Qur’an al-Karim.
Allah berfirman, artinya, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
(yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang
yang beriman.” (QS.Yunus: 57). Dia juga berfirman, artinya, “Dan Kami
turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. al-Isra: 82)

Ibnu Qoyyim berkata, “Inti penyakit hati itu adalah syubhat dan nafsu
syahwat. Sedangkan al-Qur’an adalah penawar bagi kedua penyakit itu,
karena di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan dan
argumentasi-argumentasi yang akurat, yang membedakan antara yang haq
dengan yang batil, sehingga penyakit syubhat hilang. Penyembuhan
al-Qur’an terhadap penyakit nafsu syahwat, karena di dalam al-Qur’an
terdapat hikmah, nasihat yang baik, mengajak zuhud di dunia dan lebih
mengutamakan kehidupan akhirat.”

Orang yang ingin memperbaiki hatinya hendaknya mengetahui bahwa
berobat dengan al-Qur’an itu tidak cukup hanya dengan membaca
al-Qur’an saja, tetapi harus memahami, mengambil pelajaran dan
mematuhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

Ya Allah, jadikanlah al-Qur’an itu sebagai pelipur lara, penawar hati
dan penghilang kegundahan dan kegelisahan kami. Amin.

Kedua: Cinta kepada Allah.
Cinta kepada Allah merupakan terapi yang mujarab bagi hati. Cinta
seorang hamba kepada Allah akan menjadikan hatinya tunduk kepada-Nya,
merasa tenteram tatkala mengingat-Nya, mengorbankan perasaannya demi
sang kekasihnya, yaitu Allah. Hatinya senantiasa mengharap kepada yang
dicintainya untuk memecahkan problem yang ia hadapi. Ia pun tak putus
asa dari kasih sayang-Nya. Ia yakin bahwa yang dicintainya adalah Dzat
yang tepat untuk mengadukan berbagai masalah. Ia yakin akan diberikan
solusi yang terbaik untuknya. Kecintaan kepada-Nya menyebabkan dapat
menikmati manisnya iman yang bersemayam di dalam hati.

Ketiga: Berdzikir atau mengingat Allah.
Ketidaktenteraman hati merupakan hal yang membahayakan. Allah
memberikan salah satu obat yang bisa menjadi sarana terapi keadaan
hati yang demikian. “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati
menjadi tenteram” demikianlah arti firman Allah dalam QS. ar-Ra’d :
28. Obat ini menjadikan hati seseorang hidup, terhindar dari kekerasan
dan kegelapan. Ibnu Qayyim berkata, “Segala sesuatu itu mempunyai
penerang, dan sesungguhnya penerang hati itu adalah dzikrullah
(mengingat Allah).

Suatu ketika, seorang berkata kepada Hasan al-Basri, “Wahai Abu Sa’id,
aku mengadu kepadamu, hati saya membatu.” Maka beliau menjawab,
“Lunakkanlah dengan dzikir, karena tidak ada yang dapat melunakkan
kerasnya hati yang sebanding dengan dzikrullah.” maka dari itu Allah
di dalam banyak ayat-ayat-Nya menyuruh orang-orang yang beriman agar
banyak dan sering berdzikir kepada-Nya. Seperti pada firman-Nya,
artinya, “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut
nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. al-Ahzab: 41). Nabi
kita Muhammad selalu berdzikir kepada Allah pada setiap saat,
sebagaimana dituturkan oleh istri beliau ‘Aisyah.

Keempat: Taubat nasuha dan banyak beristighfar (minta ampun).
Perhatikanlah sabda Rasulullah, “Sesungguhnya hatiku kadang keruh,
maka aku beristighfar dalam satu hari sebanyak seratus kali” (HR.
Ahmad)

Dalam hadis ini Nabi menjelaskan bahwa beliau menghilangkan kabut atau
kekeruhan hati beliau dengan istighfar, padahal dosa-dosa beliau yang
telah lalu maupun yang akan datang telah diampuni oleh Allah.
Bagaimanakah dengan kita yang banyak dosa dan banyak melakukan
kemaksiatan? Tidakkah kita lebih membutuhkan istighfar untuk hati kita
yang sakit?! Demi Allah, betapa kita semua, sangat membutuhkan
istighfar.

Kelima: Banyak berdoa dan permintaan kepada Allah untuk memperbaiki
dan membersihkan hati serta memberinya petunjuk.
Berdoa merupakan pintu utama yang agung untuk memperbaiki hati. Allah
berfirman, artinya, “Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah)
dengan tunduk me- rendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada
mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun
menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.”
(QS. al-An’am: 43).

Teladan kita yang mulia Muhammad sendiri selalu memohon kepada Allah
untuk kesucian hatinya, kokoh berjalan di atas kebenaran dan petunjuk.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ummu Salamah. Ia
meriwayatkan bahwa doa Nabi yang sering beliau panjatkan ialah, “wahai
Tuhan Pembolak-balik hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu” (HR.
at-Tirmidzi)

Keenam: Sering mengingat kehidupan akhirat.
Sesungguhnya kelalaian mengingat akhirat itu adalah penghambat segala
kebaikan, kebajikan dan merupakan pemicu setiap malapetaka dan
kejahatan. Seseorang yang banyak mengingat akhirat, akan menyadarkan
dirinya bahwa kehidupan sebenarnya, yang dia hidup selama-lamanya
adalah kehidupan akhirat. Dengan demikian, hatinya lurus dalam
mengendalikan jasad. Tindak tanduknya mencerminkan amal nyata yang ia
tanam di dunia ini dengan harapan ia akan dapat menuai hasilnya yang
baik di akhirat kelak.

Ketujuh: Membaca dan mempelajari sejarah kehidupan orang-orang yang shalih.
Ini pun bisa menjadi salah satu obat bagi hati. Banyak pelajaran
tentang teguhnya hati dari hempasan badai kehidupan yang menerjang.
Siapa saja yang memperhatikan dan mempelajari kehidupan atau sejarah
suatu kaum berdasarkan pengetahuan dan penghayatan, maka niscaya
hatinya dihidupkan kembali oleh Allah dan disucikan batinnya. Itulah
sejarah dan perjalanan hidup Nabi Muhammad. Sejarah kehidupan beliau
merupakan terapi untuk mempertebal iman dan memperbaiki hati.

Kedelapan: Bersahabat dengan orang-orang shalih, bertakwa dan berbuat kebaikan.
Seseorang yang bergaul dengan orang yang bertakwa niscaya tidak
celaka. Karena mereka tidak akan mengajak selain kepada kebaikan.
Selamatlah hati dari terkontaminasi penyakit-penyakit hati.
Sebaliknya, jika Anda bersahabat dengan orang-orang yang tidak shalih,
tidak bertakwa dan tidak berbuat kebaikan, niscaya Anda akan celaka.
Mereka akan mengajak Anda untuk melakukan berbagai kejelekan yang akan
menyebabkan hati Anda menjadi kotor. Allah secara tegas berfirman,
artinya, “… dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya
telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya
dan adalah keadaannya itu melewati batas”(QS. al-Kahfi : 28) Maka
berupayalah untuk bersahabat dengan orang-orang yang shalih.

Demikian 8 obat untuk menyembuhkan penyakit hati. Berusahalah Anda
untuk memahami dengan baik dan mengamalkan dengan tekun, karena
sesungguhnya kebahagiaan yang hakiki itu, tidak akan dapat dicapai
kecuali dengan keselamatan dan kesucian hati. Dan tidak ada yang
sempurna, yang lebih bahagia, yang lebih baik, dan tidak ada pula yang
lebih nikmat daripada kehidupan orang-orang yang berhati bersih juga
mulia. Wallahu ‘alam bish shawab (Redaksi)

[Sumber: Disarikan dari “Shalahul Qulub”, Syaikh Dr. Khalid bin
Abdullah al-Mushlih –semoga Allah menjaganya- dengan sedikit gubahan.]

Jumat, 11 November 2011

#obatgalau Bernama Kematian

Kehidupan berlangsung tanpa disadari dari detik ke detik. Apakah anda tidak menyadari bahwa hari-hari yang anda lewati justru semakin mendekatkan anda kepada kematian sebagaimana juga yang berlaku bagi orang lain?
Seperti yang tercantum dalam ayat “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. 29:57) tiap orang yang pernah hidup di muka bumi ini ditakdirkan untuk mati. Tanpa kecuali, mereka semua akan mati, tiap orang. Saat ini, kita tidak pernah menemukan jejak orang-orang yang telah meninggal dunia. 

Mereka yang saat ini masih hidup dan mereka yang akan hidup juga akan menghadapi kematian pada hari yang telah ditentukan. Walaupun demikian, masyarakat pada umumnya cenderung melihat kematian sebagai suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan saja.
Coba renungkan seorang bayi yang baru saja membuka matanya di dunia ini dengan seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut. Keduanya sama sekali tidak berkuasa terhadap kelahiran dan kematian mereka. Hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan nafas bagi kehidupan atau untuk mengambilnya.
Semua makhluk hidup akan hidup sampai suatu hari yang telah ditentukan dan kemudian mati; Allah menjelaskan dalam Quran tentang prilaku manusia pada umumnya terhadap kematian dalam ayat berikut ini:
Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. 62:8)
Kebanyakan orang menghindari untuk berpikir tentang kematian. Dalam kehidupan modern ini, seseorang biasanya menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang sangat bertolak belakang [dengan kematian]; mereka berpikir tentang: di mana mereka akan kuliah, di perusahaan mana mereka akan bekerja, baju apa yang akan mereka gunakan besok pagi, apa yang akan dimasak untuk makan malam nanti, hal-hal ini merupakan persoalan-persoalan penting yang sering kita pikirkan. Kehidupan diartikan sebagai sebuah proses kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Pembicaraan tentang kematian sering dicela oleh mereka yang merasa tidak nyaman mendengarnya. Mereka menganggap bahwa kematian hanya akan terjadi ketika seseorang telah lanjut usia, seseorang tidak ingin memikirkan tentang kematian dirinya yang tidak menyenangkannya ini. 

Sekalipun begitu ingatlah selalu, tidak ada yang menjamin bahwa seseorang akan hidup dalam satu jam berikutnya. Tiap hari, orang-orang menyaksikan kematian orang lain di sekitarnya tetapi tidak memikirkan tentang hari ketika orang lain menyaksikan kematian dirinya. Ia tidak mengira bahwa kematian itu sedang menunggunya!
Ketika kematian dialami oleh seorang manusia, semua “kenyataan” dalam hidup tiba-tiba lenyap. Tidak ada lagi kenangan akan “hari-hari indah” di dunia ini. Renungkanlah segala sesuatu yang anda dapat lakukan saat ini: anda dapat mengedipkan mata anda, menggerakkan badan anda, berbicara, tertawa; semua ini merupakan fungsi tubuh anda. Sekarang renungkan bagaimana keadaan dan bentuk tubuh anda setelah anda mati nanti.
Dimulai saat anda menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya, anda tidak ada apa-apanya lagi selain “seonggok daging”. Tubuh anda yang diam dan terbujur kaku, akan dibawa ke kamar mayat. Di sana, ia akan dimandikan untuk yang terakhir kalinya. Dengan dibungkus kain kafan, jenazah anda akan di bawa ke kuburan dalam sebuah peti mati. 

Sesudah jenazah anda dimasukkan ke dalam liang lahat, maka tanah akan menutupi anda. Ini adalah kesudahan cerita anda. Mulai saat ini, anda hanyalah seseorang yang namanya terukir pada batu nisan di kuburan.
Selama bulan-bulan atau tahun-tahun pertama, kuburan anda sering dikunjungi. Seiring dengan berlalunya waktu, hanya sedikit orang yang datang. Beberapa tahun kemudian, tidak seorang pun yang datang mengunjungi.
Sementara itu, keluarga dekat anda akan mengalami kehidupan yang berbeda yang disebabkan oleh kematian anda. Di rumah, ruang dan tempat tidur anda akan kosong. Setelah pemakaman, sebagian barang-barang milik anda akan disimpan di rumah: baju, sepatu, dan lain-lain yang dulu menjadi milik anda akan diberikan kepada mereka yang memerlukannya. Berkas-berkas anda di kantor akan dibuang atau diarsipkan.

Selama tahun-tahun pertama, beberapa orang masih berkabung akan kepergian anda. Namun, waktu akan mempengaruhi ingatan-ingatan mereka terhadap masa lalu. Empat atau lima dasawarsa kemudian, hanya sedikit orang saja yang masih mengenang anda. Tak lama lagi, generasi baru muncul dan tidak seorang pun dari generasi anda yang masih hidup di muka bumi ini. Apakah anda diingat orang atau tidak, hal tersebut tidak ada gunanya bagi anda.
Sementara semua hal ini terjadi di dunia, jenazah yang ditimbun tanah akan mengalami proses pembusukan yang cepat. Segera setelah anda dimakamkan, maka bakteri-bakteri dan serangga-serangga berkembang biak pada mayat tersebut; hal tersebut terjadi dikarenakan ketiadaan oksigen. Gas yang dilepaskan oleh jasad renik ini mengakibatkan tubuh jenazah menggembung, mulai dari daerah perut, yang mengubah bentuk dan rupanya. Buih-buih darah akan meletup dari mulut dan hidung dikarenakan tekanan gas yang terjadi di sekitar diafragma. Selagi proses ini berlangsung, rambut, kuku, tapak kaki, dan tangan akan terlepas. Seiring dengan terjadinya perubahan di luar tubuh, organ tubuh bagian dalam seperti paru-paru, jantung dan hati juga membusuk. Sementara itu, pemandangan yang paling mengerikan terjadi di sekitar perut, ketika kulit tidak dapat lagi menahan tekanan gas dan tiba-tiba pecah, menyebarkan bau menjijikkan yang tak tertahankan. Mulai dari tengkorak, otot-otot akan terlepas dari tempatnya. Kulit dan jaringan lembut lainnya akan tercerai berai. Otak juga akan membusuk dan tampak seperti tanah liat. Semua proses ini berlangsung sehingga seluruh tubuh menjadi kerangka.
Tidak ada kesempatan untuk kembali kepada kehidupan yang sebelumnya. Berkumpul bersama keluarga di meja makan, bersosialisasi atau memiliki pekerjaan yang terhormat; semuanya tidak akan mungkin terjadi.
Singkatnya, “onggokkan daging dan tulang” yang tadinya dapat dikenali; mengalami akhir yang menjijikkan. Di lain pihak, anda – atau lebih tepatnya, jiwa anda – akan meninggalkan tubuh ini segera setelah nafas anda berakhir. Sedangkan sisa dari anda – tubuh anda – akan menjadi bagian dari tanah.
Ya, tetapi apa alasan semua hal ini terjadi?
Seandainya Allah ingin, tubuh ini dapat saja tidak membusuk seperti kejadian di atas. Tetapi hal ini justru menyimpan suatu pesan tersembunyi yang sangat penting
Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu manusia; seharusnya menyadarkan dirinya bahwa ia bukanlah hanya tubuh semata, melainkan jiwa yang “dibungkus” dalam tubuh. Dengan lain perkataan, manusia harus menyadari bahwa ia memiliki suatu eksistensi di luar tubuhnya. Selain itu, manusia harus paham akan kematian tubuhnya - yang ia coba untuk miliki seakan-akan ia akan hidup selamanya di dunia yang sementara ini -. Tubuh yang dianggapnya sangat penting ini, akan membusuk serta menjadi makanan cacing suatu hari nanti dan berakhir menjadi kerangka. Mungkin saja hal tersebut segera terjadi.
Walaupun setelah melihat kenyataan-kenyataan ini, ternyata mental manusia cenderung untuk tidak peduli terhadap hal-hal yang tidak disukai atau diingininya. Bahkan ia cenderung untuk menafikan eksistensi sesuatu yang ia hindari pertemuannya. Kecenderungan seperti ini tampak terlihat jelas sekali ketika membicarakan kematian. Hanya pemakaman atau kematian tiba-tiba keluarga dekat sajalah yang dapat mengingatkannya [akan kematian]. Kebanyakan orang melihat kematian itu jauh dari diri mereka. Asumsi yang menyatakan bahwa mereka yang mati pada saat sedang tidur atau karena kecelakaan merupakan orang lain; dan apa yang mereka [yang mati] alami tidak akan menimpa diri mereka! Semua orang berpikiran, belum saatnya mati dan mereka selalu berpikir selalu masih ada hari esok untuk hidup.
Bahkan mungkin saja, orang yang meninggal dalam perjalanannya ke sekolah atau terburu-buru untuk menghadiri rapat di kantornya juga berpikiran serupa. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa koran esok hari akan memberitakan kematian mereka. Sangat mungkin, selagi anda membaca artikel ini, anda berharap untuk tidak meninggal setelah anda menyelesaikan membacanya atau bahkan menghibur kemungkinan tersebut terjadi. Mungkin anda merasa bahwa saat ini belum waktunya mati karena masih banyak hal-hal yang harus diselesaikan. Namun demikian, hal ini hanyalah alasan untuk menghindari kematian dan usaha-usaha seperti ini hanyalah hal yang sia-sia untuk menghindarinya:
Katakanlah: “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (QS. 33:16)
Manusia yang diciptakan seorang diri haruslah waspada bahwa ia juga akan mati seorang diri. Namun selama hidupnya, ia hampir selalu hidup untuk memenuhi segala keinginannya. Tujuan utamanya dalam hidup adalah untuk memenuhi hawa nafsunya. Namun, tidak seorang pun dapat membawa harta bendanya ke dalam kuburan. Jenazah dikuburkan hanya dengan dibungkus kain kafan yang dibuat dari bahan yang murah. Tubuh datang ke dunia ini seorang diri dan pergi darinya pun dengan cara yang sama. Modal yang dapat di bawa seseorang ketika mati hanyalah amal-amalnya saja.

Kamis, 03 November 2011

Puasa Arafah 1432 H / 2011

Para fuqaha bersepekat disunnahkan berpuasa di hari Arafah bagi orang yang tidak melaksanakan ibadah haji, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah [Sabtu 5 November 2011]. Dan puasanya dapat menghapuskan dosa dua tahun : setahun sebelumnya dan setahun yang akan datang.
 
Diriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Puasa pada hari Arafah, aku memohon pula kepada Allah, agar puasa itu bisa menghapus dosa setahun penuh sebelumnya dan setahun sesudahnya.”

Asy Syarbini al Khatib berkata,”Ia (hari Arafah) adalah sebaik-baik hari berdasarkan hadits Muslim, ‘Tidak ada satu hari pun yang di hari itu Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka daripada hari 'Arafah.”
Jumhur Fuqaha—kalangan Maliki, Syafi’i dan Hambali—berpendapat bahwa tidak dianjurkan (puasa Arafah) bagi seorang yang berhaji walaupun ia memiliki kekuatan dan puasa yang dilakukannya itu makruh menurut para ulama Maliki dan Hambali sedangkan menurut Syafi’i hal itu menyelisihi keutamaan berdasarkan riwayat Ummu al Fadhl binti al Harits,”Ummu Al Fadhl mengirimkan mangkuk yang berisi susu kepada beliau sementara beliau sedang berada di atas untanya di 'Arafah lalu beliau meminumnya.”

Dari Ibnu Umar bahwa beliau pernah berhaji bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersama Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman dan tidak satu pun dari mereka yang berpuasa.” Karena hal itu dapat melemahkannya tatkala wuquf dan berdoa maka meninggalkannya adalah lebih utama. Dan ada juga yang mengatakan bahwa hal itu dikarenakan mereka adalah tamu-tamu Allah dan peziarah-Nya.

Kalangan Syafi’i berkata,”Disunnahkan berbuka bagi seorang yang melakukan perjalanan (safar) dan orang yang sakit secara mutlak.” Mereka berkata,”Disunnahkan berpuasa bagi seorang yang berhaji yang tidak sampai ke Arafah kecuali malam hari dikarenakan hilangnya sebab.”

Kalangan Hanafi berpendapat dianjurkan (puasa) juga bagi seorang yang berhaji apabila hal itu tidak melemahkannya ketika wuquf di Arafah dan tidak menggangunya dalam berdoa dan jika hal itu melemahkannya maka makruh baginya berpuasa. (al Mausu’ah al Fiqhiyah)

Minggu, 18 September 2011

Apa yang Patut Anda Ketahui sebagai Pelajar Islam


Hanya ilmu yang dapat mengangkat derajat manusia. Olehnya itu, Allah SWT memberi mereka aneka ragam potensi diri. Orang yang cacat sejak lahir punya kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi diri sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Di dalam Islam setiap manusia punya hak yang sama dalam memperoleh pendidikan.

Keurgensian ilmu pengetahuan terangkum dalam seruan Allah SWT kepada umat manusia untuk senantiasa membaca, menelaah, dan berpikir positif. Dia berfirman:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantara kalam (alat tulis baca). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. al-Alaq [96]:1-5)

Objek dari ilmu pengetahuan yang diserukan Alqur'an tidak disebutkan secara eksplisit, karena ia melihat tujuan utama dari setiap disiplin ilmu, yaitu mengungkap tanda-tanda keberadaan dan keagungan Allah SWT.

Mahasiswa kedokteran mempelejari ilmu kedokteran supaya mampu menangkap sinyal-sinyal dari manifestasi nama-Nya, as-Syafi' (Yang Maha Pemberi Kesembuhan). Sekolah teknik kejuruan mengajarkan mekanisme kerja mesin, arsitektur bangunan, dan keterampilan khusus serta operasional satuan kerja di lapangan, supaya mereka dapat mengetahui perwujudan nama-Nya, al-Muqaddir (Yang Maha Tahu dalam Menentukan kadar sesuatu).

Jika seorang dokter mampu menyembuhkan penyakit dengan obat dan terapi khusus, maka disana ada zat Yang Maha Penyembuh, sumber dari segala kesembuhan. Apabila seorang insinyur bangunan dapat membangun gedung bertingkat, dan dengan ketangkasan seorang mekanik merakit kepingan-kepingan besi menjadi benda yang berguna, maka pasti disana ada Zat Yang Maha Mampu Menciptakan sesuatu dengan kadar dan komposisi tertentu tanpa butuh kepada yang lain, dan tidak dijangkiti rasa lelah dan capek.

Setiap disiplin ilmu bisa dikatakan sebagai ilmu, jika ia memberi hakikat seperti ini. Pelajar yang benar adalah mereka yang mampu mengenal manifestasi nama-nama Allah SWT lewat ilmu yang digelutinya. Ahli sains sejati adalah mereka yang menjadikan alam semesta sebagai laboratorium, tempat dimana mereka menemukan tanda-tanda kekuasaan-Nya. [1]

Maka dari itu, sejak awal Alqur'an mengangkat derajat orang-orang yang berilmu pengetahuan. Dia berfirman:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.. al-Mujadalah [58]: 11)

Orang-orang yang berilmu pengetahuan disini sebagaimana yang digarisbawahi ayat di atas adalah mereka yang mengedepankan akalnya dalam setiap masalah, tidak mengikuti hawa nafsunya, mendahulukan yang amat penting dari yang penting, punya perencanaan ke depan, bekerja dengan dedikasi tinggi, dan tidak membodohi sesama atau mengeksploitasi seseorang untuk kepentingan pribadi. Hematnya, mereka itu adalah orang-orang yang tahu dimana letaknya kebenaran dan keburukan. Bukankah jarak di antara mereka berdua seperti jaraknya langit dan bumi?

Jika ada yang bertanya: “Kenapa proses pembelajaran sering kali tidak mendatangkan berkah terhadap kehidupan mereka? Dimana letak dari keberhasilan pendidikan yang senantiasa dicari oleh setiap pelajar?”

Saya menjawab: ada beberapa hal yang mendasari keberhasilan pendidikan yang penuh berkah yang mereka tidak miliki, di antaranya:

1. Menjadikan keinginan belajar sebagai kebutuhan pokok

Orang yang menghargai ilmu adalah mereka yang senantiasa tidak ingin lepas dari buku, punya rasa ingin tahu yang kuat, mencari ilmu dimanapun ia berada, mendatangi ilmu dan tidak mengharap ilmu yang mendatanginya. Tentunya, ini tidak terwujud kecuali jika rasa ingin tahu telah mendarah daging dalam diri, dan menjadi sebuah kebutuhan tersendiri.
Makna ini tersirat dalam sabda Rasul Saw berikut ini:
“Tuntutlah ilmu pengetahuan, meskipun itu di negeri Cina.” [2]
Jika anda berkata: “kenapa dalam melihat ilmu pengetahuan harus disejajarkan dengan makanan pokok?” maka Jawabannya seperti ini:

“kelangsungan hidup setiap makhluk tergantung kepada makanan, dan tentunya ketahanan fisik ada pada makanan pokok yang wajib dikomsumsi setiap hari. Begitu pula dengan rohani, supaya ia dapat melahirkan ide dan inspirasi untuk mendatangkan kemaslahatan jasmani, maka ia harus membaca dan menelaah. Seseorang bisa bertahan hidup tanpa makan dan minum selama 40 hari, tetapi ia tidak bisa menghabiskan satu hari tanpa berfikir. Olehnya itu, jika pada tenggang waktu tertentu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, maka pada saat sekarang manusia sepatutnya dikatakan sebagai makhluk penuntut ilmu demi tercapainya kebutuhan rohani dan jasmani secara berimbang.”

Mereka yang punya sikap seperti ini adalah mereka yang tidak membedakan satuan ilmu pengetahuan dari yang lain. Mereka yang menghargai semua guru, karena apa yang mereka sampaikan adalah makanan primer terhadap rohani. Bukankah suatu kebodohan jika menjauhkan diri dari orang yang datang dengan sengaja menyuguhkan dan menyuapi makanan kesukaan kita? Kenapa kita ingin menolak pemberian itu, bukankah hewan sendiri suka disuapi?
Ingatlah! Berkah ilmu tergantung dari sejauh mana kita menghargai ilmu pengetahuan dan orang-orang yang berilmu.

2. Terus menerus belajar

Makanan pokok tidak dikatakan sebagai kebutuhan mendasar jika hanya sekali dimakan saja, tetapi makanan pokok itu adalah makanan yang senantiasa dikomsumsi tiap harinya. Seseorang bisa saja tidak makan kerupuk pada hari ini dan hari-hari mendatang, tetapi amat sulit baginya jika tidak makan nasi pada tiap kali mengusir rasa lapar.
Pelajaran menjadi kebutuhan utama, jika dalam diri senantiasa ada dorongan kuat untuk membaca, mengetahui, dan memahami.

Bukanlah belajar itu dengan membaca sekali kemudian berhenti karena telah merasa puas, tapi belajar yang benar itu adalah belajar yang tidak pernah mengenal rasa puas, senantiasa haus dengan ilmu, selalu membaca di setiap ada kesempatan. Jika tidak membaca dalam jangka waktu tertentu tercipta dalam diri sebuah keanehan dan rasa tidak nyaman, seperti orang yang merasa lemah akibat tidak makan dan minum.

Para ilmuwan Islam terkemuka telah terbiasa menghabiskan waktu mereka berjam-jam tanpa makan dan minum, hanya karena terbuai oleh indahnya setiap hakikat ilmu pengetahuan yang mereka pahami. Bahkan, di antara mereka yang ditakdirkan masuk penjara meminta agar tidak dipisahkan dengan bukunya, meski ia hanya membawa sehelai pakaian. Itu bukanlah hal yang aneh, karena kepribadian manusia terbentuk dari kebiasaan.

Hemat penulis, seruan itu tersirat dari ayat-ayat yang menganjurkan umat untuk senantiasa memikirkan dan mengungkap rahasia-rahasia Allah SWT di balik setiap penciptaan entitas kehidupan. Alqur'an dalam menyeru kepada hal tersebut kerap kali mempergunakan fi'il mudhari (kata kerja yang menunjukan pekerjaan yang terjadi pada saat sekarang dan masa mendatang). Seperti firman-Nya di bawah ini:

“Maka tidaklah kamu memahaminya?”(QS. al-Baqarah [2]: 44)

Dan firman-Nya juga:
“Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” (QS. al-An'am [6]: 50)

serta firman-Nya:
“Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”(Qs. Yunus [10]: 3)
Dan pastinya, seruan untuk memahami, berpikir, dan mengambil pelajaran senantiasa langgeng sampai hari kiamat.

3. Merendah diri terhadap sesama

Tawadhu' (rendah diri) merupakan tujuan ilmu, dan pada waktu yang sama dia juga jalan meraih berkah pendidikan. Karena dengan sifat itu, seseorang tidak menganggap remeh ilmu pengetahuan, melihat enteng orang lain, membuang kesombongan dan ego, dan senantiasa melihat dirinya sama dengan yang lain. Orang yang menyombongkan diri dengan pengetahuannya telah berada pada kebodohan dalam keadaan tidak sadar.

Apakah yang dapat kita sombongkan dari ilmu itu? Bukankah pada suatu waktu seorang pelajar kadang lupa apa yang pernah dipelajarinya, sementara ia amat yakin bahwa hafalan tersebut senantiasa melekat di benaknya? Bukankah ini pertanda bahwa setiap pelajar hanya dituntut untuk belajar dan berusaha semaksimal mungkin mengetahui, tahu atau tidaknya itu tergantung kepada kebijakan Allah SWT? Bukankah itu sinyal dari kelemahan dan ketidakmampuan kita sebagai hamba, jadi apa lagi yang mesti disombongkang, wahai mereka yang bersikap angkuh dengan ilmunya?

Orang tua murid sering kali melantunkan pepatah ini: “Padi jika menguning merundukkan daun”. Orang yang rendah diri adalah mereka yang tahu jati diri, tidak melihat ada sesuatu kelebihan dalam diri, karena yang memberi isi dan bobot ilmu pengetahuan dalam dirinya adalah Sang Pencipta. Ia hanya tempat air yang siap untuk diisi, dan tidak menutup kemungkinan air itu ada yang tumpah sebagian. Jika perihalnya seperti itu, kenapa kita tidak ingin menundukkan muka, merendah diri terhadap sesama?

Di dalam sifat ini tersimpan kebaikan yang tidak terkira. Jika rendah diri telah menjadi pakaian seseorang, maka ia akan memberi rasa damai, tawakkal, dan percaya diri yang luar biasa. Kenapa tidak? Bukankah rendah diri itu sifat para ulama.

Wahai mereka yang berilmu, Berbagahagialah! Anda adalah pelanjut perjuangan para nabi-nabi dalam mengemban dakwah Islam, diberikan potensi untuk mengetahui manifestasi nama-nama Allah SWT di alam semesta, diangkat derajatnya di antara hamba-hamba-Nya, dan tentunya, mereka itu meniti jalan kebenaran menuju akhirat.

Berbahagialah kalian! Di dunia anda dimuliakan sesama, di akhirat anda mendapatkan tempat kehormatan tersendiri di sisi Allah SWT. Olehnya itu, Buanglah jauh, dan kubur mati kesombongan itu, serta tanamkan dalam diri sikap rendah diri! Itulah keberuntungan yang sebenarnya.