Kamis, 09 Juni 2011

Inspirasi yang Terus Hidup


Beberapa hari ini, bahkan tak cukup seminggu, aku kaget sekaligus berduka dengan berita-berita kepergian banyak sosok. Bukan saja sosok-sosok yang dikenal publik, tapi juga salah satu anggota keluargaku.

Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’un…
Allahummaghfirlahum warhamhum wa’afihum wa’fuanhum…
Kematian.

Sesuatu yang paling dekat jaraknya dengan kita. Bahkan lebih dekat dari pada satu detik waktu yang telah kita lalui. Sebab, hitungan masa yang berlalu, lantas akan menjadikan jarak kita begitu jauh dengannya. Tak satu pun kendaraan dapat menjemputnya.

Dekatnya kematian bukan milik kakek nenek yang telah renta saja, ataupun si pesakit yang hanya tinggal menunggu waktu, tapi, semuanya, siapapun kita! Tanpa kecuali untuk raga-raga dengan kebugaran, dengan derai gelak tawa. Ah, kematian itu tetaplah sesuatu yang begitu PASTI! PASTI! Yah, kita PASTI akan menghadapinya. Mungkin beberapa menit lagi. Mungkin hitungan jam. Hitungan hari, bulan atau tahun.

Rahasia mengapa waktu kematian tak terprediksi yang berarti SEWAKTU-WAKTU, bisa kapan saja, adalah agar setiap saat kita bersiap diri untuk itu. Tapi, kelalaian manusia sering kali mencipta alasan-alasan dan memberikan pembenaran-pembenaran bahwa ia-nya masih begitu jauh. Padahal, tak sedikitpun kita dapat mengatakan ia masih jauh hanya karena umur kita yang masih belia ataupun badan yang masih sehat. Ya, sering kita lupa.

Kisah kepergian sosok-sosok luar biasa itu, mengeluarkanku pada sebuah kesadaran, hendak seperti apa akhir dari kisah episode demi episode itu? Sungguh, ada sosok-sosok luar biasa, yang mengakhiri ending episode itu dengan sebuah lakon luar biasa. Mereka yang meninggalkan sebuah inspirasi dan penyadaran bahkan setelah usia di dunia berakhir. Inspirasi yang terus hidup, meskipun mereka telah tutup usia. Sungguh, inspirasi itu terus hidup, dan umurnya JAUH LEBIH PANJANG DARI USIA mereka. Jangankan kehidupan, bahkan kematian pun meninggalkan ibroh dan inspirasi serta penyadaran bagi banyak orang. Sungguh, lakon yang indah dan ending yang membahagiakan…

Ada lagi, mereka yang berpulang setelah menuliskan begitu banyak torehan sejarah… Catatan yang mereka ukir masih terus hidup meskipun mereka telah kembali pada-Nya. Catatan-catatan yang mereka ukir, bahkan masih sampai di hati banyak orang jauh setelah ia menghembuskan nafas terakhir. Sebuah inspirasi yang terus hidup dan sebuah investasi kebaikan yang terus mengalir. Ya, ia-nya adalah satu di antara tiga, ilmu yang bermanfaat yang ia tinggalkan.

Mereka yang pergi dengan lafadz-lafadz ayat-ayat-Nya. Mereka yang pergi dengan kalimah syahadat. Mereka yang pergi dengan senyuman yang terukir indah di bibir. Masih kuingat, salah satu sosok penulis yang masih meninggalkan catatan-catatan kebaikan dan kemanfaatan setelah Tsunami Aceh menyeretnya. Tapi, jilbabnya, gamisnya, kaus kakinya, bahkan mansetnya tak satupun yang terlepas dari badannya setelah jasad itu ditemukan. Di tengah sebagian orang-orang yang berpakaian bodypress dan jeans ketat yang justru malah terbuka. Allahuakbar! Allah selamatkan ia dan kehormatannya. Bukankah logika manusia, pakaian longgarlah yang justru dengan mudah terlepas oleh terjangan air yang begitu dahsyat dibandingkan dengan pakaian ketat dan jeans rapat yang bahkan ketika membukanya saja sudah sangat susah? Tapi, kebesaran Allah jauh melintasi logika-logika sederhana manusia.

Semua ini, mengantarkanku pada sebuah titik penyadaran; INGIN SEPERTI APAKAH ENDING HIDUP KITA? Ingin diakhiri dengan bagaimanakah? Dengan epilog pahit yang kemudian menjadi gerbang pada kesengsaraan yang tak berkesudahankah? Ataukah, dengan epilog manis yang menjadi pintu bagi kenikmatan yang takkan pernah sanggup dilukiskan oleh kanvas apalagi kata. Ingin diakhiri dengan sebuah senyuman maniskah? Atau ringisan ketakutankah? Akan meninggalkan inspirasi kebaikankah atau menjadi catatan keburukkan yang mungkin akan dipergunjingkan banyak orang?

Sungguh, dunia ini hanyalah kesejenakan belaka, wahai diri. Dunia, bukanlah tujuan akhir hidup kita. Namun, kesejenakkan inilah yang akan menjadi penentu, akan berada di ranah manakah kita pada hari yang tiada akhir itu? Pada hari ketika segala sesuatunya dibalaskan itu? Dan bukankah gerbang menuju hari tak berkesudahan itu, adalah gerbang yang tak pernah kita prediksi kapan, di mana, dengan cara bagaimana?

Wahai diri, hendak dengan cara bagaimanakah engkau ingin mengakhiri dunia? Hendak dengan cara bagaimanakah? Sungguh, cara itulah yang akan menjadi gerbang. Tiada yang dapat menjamin dirimu, wahai diri, selain Allah saja. Maka, berharaplah dengan segenap harap pada Rabb-mu, bahwa penutup hari-hari itu adalah dengan sesuatu yang terbaik, dengan amalan terbaik, pun dengan cara terbaik. Maka, tiadalah engkau berjumpa dengan segenap harap itu, jika hari ini kau masih berlalai-lalai, masih lena dan masih terbuai dengan godaan dunia. Bagaimana jika akhir episode itu adalah ketika kau bermaksiat di hadapan Rabb-mu, wahai diri?

Sumber : http://www.eramuslim.com/oase-iman/fathelvi-mudaris-inspirasi-yang-terus-hidup.htm

Senin, 06 Juni 2011

Tanda Sholat kita diterima


Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: "Akan datang suatu zaman di mana orang-orang berkumpul di masjid untuk shalat  berjamaah, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mukmin."
Rasulullah juga bersabda: "Nanti akan datang suatu zaman di mana seorang muadzin melantunkan adzan, kemudian orang-orang menegakkan shalat, tetapi di antara mereka tidak ada yang mukmin." (Kanzul Ummat, hadits ke 3110) 
Sabda Rasulullah tersebut jelas menarik bagi kita. Dan, tentunya akan muncul pertanyaan, mengapa shalat yang mereka lakukan tidak dianggap sebagai tanda seorang mukmin? Mengapa orang yang melakukan shalat itu tidak dihitung sebagai orang mukmin?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menunjukkan tanda-tanda seorang mukmin. Sebab, shalat bukan merupakan tanda seseorang disebut mukmin, tapi merupakan tanda bahwa yang melakukan adalah seorang muslim. Memang sebagian tanda seorang mukmin itu, tidak hanya shalat tapi ditambah dengan syarat lainnya.

Karakteristik seorang mukmin yang disebut dalam Shahih Bukhari, Rasulullah bersabda, Pertama, barangsiapa yang beriman (mukmin) kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia menghormati tetangganya. Kedua, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia senang menyambung tali persaudaraan. Ketiga, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia berbicara yang benar; dan kalau tidak mampu berbicara dengan benar, maka lebih baik berdiam diri. Keempat, tidak dianggap sebagai orang beriman apabila seseorang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan.

Dengan hanya mengambil empat macam hadits tersebut, ternyata tanda seorang mukmin itu terlihat dari tanggung jawabnya di tengah-tengah masyarakatnya. Kalau dia menghormati tetangganya, menyambung tali persaudaraan, dan berbicara dengan benar, atau memiliki keprihatinan di antara penderitaan yang dirasakan saudara di sekitarnya, maka barulah dia dikatakan sebagai seorang mukmin.

Dengan kata lain, Rasulullah SAW menyebutkan bahwa nanti akan datang suatu zaman, orang-orang berkumpul di masjid untuk mendirikan shalat tetapi tidak akur dengan tetangganya, tidak menyambungkan tali persaudaraan diantara kaum muslim. Mereka melaksanakan shalat, tetapi tidak sanggup mengatakan kalimat yang benar. Mereka melakukan shalat tetapi acuh tak acuh dengan penderitaan yang dirasakan sesamanya. Kata Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang melakukan shalat, tetapi sebetulnya tidak dihitung sebagai orang yang melakukan shalat.

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, bahwa tanda-tanda orang yang diterima shalatnya oleh Allah SWT, diantaranya: 

Pertama, dia datang untuk melaksanakan shalat dengan merendahkan diri kepada-Nya, yang dalam Alqur'an disebut khusu'. Shalat yang khusu' salah satu tanda orang mukmin. Orang yang melaksanakan shalat dengan khusu', bukan berarti tidak ingat apapun. Karena orang yang tidak ingat apapun itu bisa disebut pingsan.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramalluhu wajhah, apabila hendak melakukan shalat, tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat pasi. Ketika ada orang yang bertanya kepadanya, "Mengapa Anda ya Amirul Mukminin?" Sayyidina Ali menjawab, "Engkau tidak tahu bahwa sebentar lagi aku akan menghadapi waktu amanah." Kemudian melanjutkan ucapannnya, "Shalat adalah suatu amanat Allah yang pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan bukit untuk memikulnya. Tetapi, mereka menolaknya dan hanya manusia yang sanggup memikulnya. Memikul amanat berarti mengabdi kepada-Nya."

Kedua, tidak sombong atau takabur dengan makhluk Allah yang lain. Takabur, menurut Imam Al Ghozali, ialah sifat orang yang merasa dirinya lebih besar daripada orang lain, serta memandang remeh orang lain. Bisa jadi, seseorang bersikap demikian karena ilmu, amal, keturunan, kekayaan, atau kecantikannya.

Ketiga, tanda orang yang diterima shalatnya ialah orang yang tidak mengulangi perbuatan maksiatnya kepada Allah SWT. Nabi bersabda; "Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari kejelekan dan kemungkaran, maka shalatnya  hanya akan menjauhkan dirinya dari Allah SWT." Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda; "Nanti, pada Hari Kiamat, ada orang yang membawa shalatnya di hadapan Allah SWT. Kemudian shalatnya diterima dan dilipat-lipat seperti dilipat-lipatnya pakaian yang kotor dan usang. Lalu shalat itu dilemparkan ke wajahnya."

Keempat, orang yang diterima shalatnya ialah orang yang menyayangi orang-orang fakir miskin. Jika diterjemahkan, berarti orang yang mempunyai solidaritas sosial. Dia tidak hanya melakukan rukuk dan sujud saja, tapi juga peduli terhadap penderitaan sesamanya. Dia menyisihkan sebagian waktu dan rezekinya untuk membahagiakan orang lain