Jumat, 05 Oktober 2012

Apa sih Esensi haji



Alhamdulillah, Allah telah mempertemukan kembali kita dengan Iedul Adha atau Iedul Qurban. Kita juga bersyukur dan berdo’a agar saudara-saudara kita yang melaksanakan ibadah Haji tahun ini diberikan kekuatan dan kesehatan oleh Allah sehingga dapat menjalankan seluruh rangkaian ibadah hajinya dengan aman, lancar dan selamat. Semoga pula mereka dapat kembali ke tanah air dengan sehat dan selamat dan menjadi Haji yang Mabrur.
Seperti kita ketahui, dalam ibadah haji ada tiga kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan klimaksnya melempar jumrah di Mina. Tanpa melaksanakan ketiga rangkaian kegiatan ini, ibadah haji seseorang tidak syah. 

Pertama, wukuf di Arafah. Arafah  adalah padang pasir yang luas. Di tempat ini  jutaan manusia berkumpul dengan hanya memakai dua helai kain tak berjahit. Mereka menanggalkan baju kebesaran dunia dan melepaskan segala atribut kepangkatan. Mulai dari raja sampai rakyat biasa, semua sama. Tidak ada satupun yang memakai jas maupun pantalon, batik maupun safari. 
Wukuf di Arafah dilakukan siang hari, saat matahari terik menyengat. Semua duduk bersimpuh berdzikir dan beristighfar. Di sini instink dan sifat kemanusiaan dibangkitkan.  Akal/rasio  dan intelektualitas kita ditempa untuk membaca diri dan alam sekitar, sehingga diharapkan muncul sifat arif.   Sesuai dengan namanya, Arafah berarti pengetahuan dan sains . Karena Arafah inilah  pertama kali pengetahuan diberikan kepada manusia melalui orang tua kita, Adam AS.  “Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya….” (Al Baqarah 31). Dengan ilmu pengetahuan inilah  manusia mengolah alam ini untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri.

 Kedua, Miqat di Muzdalifah.  Muzdalifah atau Mas’ar, adalah tempat membina keasadaran dan subjektifitas. Miqat di Muzdalifah dilakukan pada malam hari, di saat  hari kelam, tidak ada penerangan, di saat orang-orang tidur lelap. Di tempat ini, para hujjaj berdzikir dan merenung sehingga timbul kesadaran ke-Mahabesaran Allah SWT. Betapa luasnya jagat raya, langitnya berdiri kokoh tanpa ada tiang penyangga. Bintang dan planet-planet bertebaran tanpa ada tali gantungan.  
Di saat miqat di tempat ini,  para hujjaj beristighfar, bertaubat, meminta ampun kepada Allah  sambil mengungkapkan penyesalan atas pebuatan dosanya yang telah dilakukan selama ini. Orang-orang yang sungguh-sungguh dalam melaksanakan amalan ini, tak jarang airmatanya meleleh membasahi pipinya, bahkan menangis sejadi-jadinya. Dan tangis di kala sepi sambil menyesali diri itulah tangis yang akan mendekatkan kita kepada pengampunan Allah SWT, bukan tangis massal yang dishoot oleh televisi. 
Di Muzdalifah ini emosipun dilatih, nurani ditempa untuk “membunuh” dan menghilangkan sifat-sifat tercela yang menyebabkan amal kita ditolak oleh Allah seperti:  iri, dengki, jahil, benci, tamak, rakus,  dan  egoisme. Dengan kesadaran inilah para hujjaj mempersiapkan diri, menyiapkan senjata (berupa batu kerikil) untuk menyerang iblis guna membunuh sifat-sifat jelak itu.

Ketiga, Mina. Di tempat ini berdiri kokoh tiga tugu “monumental” yang disebut “Jamarat”: Jumratul Ula, Jumratul Wustha dan Jumratul Aqabah. Ketiganya melambangkan tiga Syetan yang harus diperangi.Di tempat ini, setelah selesai melaksanakan sholat Subuh di Muzdalifah, para hujjaj bergerak dengan gesit dan penuh semangat “menyerang ketiga iblis itu dengan menggunakan “senjata terhunus” berupa batu-batu kerikil.  
Syaitan ini harus dilawan, karena ia selalu memperdaya manusia. Syaitan menyerang titik-titik kelemahan manusia yaitu  intelektual, kesadaran dan keyakinan.  Oleh karena itu gerakan penyerangan iblis di Mina melambangkan harapan dan idealisme, serta perjuangan dalam membebaskan kita dari serangan Syaitan terhadap ketiga titik kelemahan manusia itu.  
Tiga serangan Syaitan ini selalu kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ia dapat berupa kekuasaan, ia dapat berupa materi atau harta/kekayaan dan juga bisa dalam bentuk kehidupan sosial lainnya. Dalam Al Quran dicontohkan, ada Fir’aun, yaitu lambang pemimpin yang dhalim dan penindas; Qarun, lambang kepitalis yang rakus dan serakah; Hamman, lambang pejabat-pejabat yang munafik, dan Bal’am adalah lambang penegak hukum yang berpihak pada penguasa dan pengusaha, bukan pada kebenaran.  
Ibadah haji merupakan sarana untuk membina  intelektualitas, kesadaran dan kecintaan manusia terhadap kebenaran. Ibadah haji merupakan bentuk hubungan interaktif dan ketaatan manusia kepada Allah dan sebagai bentuk hubungan antar sesama manusia. Ibadah haji juga mengandung nilai‑nilai eduka­tif, yakni membina jiwa seseorang menjadi mantap dan konsisten dalam menegakkan kebenaran seperti halnya dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Isma’il. Nilai-nilai itu harus diwujudkan dalam perilakunya sehari-hari. Bagi para hujjaj,  Rasulullah menyebutkan 2 ciri yang menonjol dari haji yang mambrur, yaitu: afsus-salam, wa ith’amuth- tha’am.

Afsus- salam, artinya menyebarkan salam (keselamatan). Artinya ia harus menjadi tempat bertanya orang yang tidak tahu,  tempat meminta pendapat bagi orang yang kebingungan, dan  tempat meminta nasihat orang-orang yang sedang kegelapan. Ini dapat difahami, karena karena intelektual mereka telah terbina melalui proses perenungan di Arafah, di Muzdalifah dan di Mina.  
Sedangkan ith’amuth tha’am, artinya dermawan, memiliki solidaritas sosial yang tinggi, suka membantu dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Jiwanya gemetar jika ada orang lain yang susah. Ia  sadar bahwa harta yang dimilikinya adalah kepunyaan Allah yang setiap saat bisa diambil kembali oleh Allah dengan berbagai cara. 
Dengan demikian,  ibadah Haji memiliki nilai yang sangat penting bagi kita umat Islam Indonesia yang dewasa ini sedang diuji oleh Allah dengan berbagai ujian, mulai dari ujian bersifat ekonomi, bencana alam, sampai dengan drama Cicak lawan Buaya  yang semakin hari semakin membingungkan orang-orang yang bodoh, walaupun masyarakat sudah bisa menebak bahwa dari pertarungan itu yang menang adalah kadal, karena cicak dan buayapun dua-duanya berhasil dikadalin oleh Kadal yang telah dikuasai oleh nafsu angkara murka dari manusia-manusia durjana yang telah dikuasai Syaitan. 
Karena itu kita mengingatkan kepada para hujjaj, mari kita lanjutkan perang kita melawan tiga syaitan yang kita lempari waktu lempar jumrah: pertama, Syaitan kecil, yaitu syaitan yang menganggu pikiran dan intelektual manusia. Serangan dari Syaitan kecil ini menyebabkan manusia malas belajar, tidak mau menggunakan akal/pikiran. Akibatnya manusia menjadi bodoh dan terbelakang. Kedua, Syaitan sedang, yaitu syaitan yang menyerang kesadaran, sehingga manusia lupa dan lalai menghadap Allah. Syaitan ini dapat berupa harta atau kekayaan, pangkat, jabatan dan kedudukan,  keluarga dan lain-lain. Jika manusia sudah cinta kepada  dunia, maka ajaran agama sering diabaikan, agama sering dianggap enteng, lalu kemusyrikanpun merajalela. Ketiga, Syaitan besar, yaitu hawa nafsu yang ada dalam diri manusia, seperti ria, sombong, takabbur, rakus, tamak,  dengki, hasad, nifak, dan sebagainya.
Ketiga Syaitan itu harus kita perangi, karena ketiga Syaitan itulah yang menyebabkan manusia kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya. Jika manusia telah kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya,  maka hati, mata dan telinga yang dimiliki oleh manusia tidak berfungsi lagi.  Itulah yang oleh Allah disebutkan sebagai manusia yang : 
 “……… mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu tak ubahnya seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai”. (Al –A’raf/7:179).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar