Sabtu, 07 Juni 2014

Siapakah Ahlullah itu ?


Orang-orang yang mendapatkan julukan sebagai “Ahlullah”, adalah mereka yang memiliki kedudukan istimewa disisi Allah dan Rasul-Nya, dimuliakan di antara penduduk langit dan bumi , di hamparkan segenap rahmat –Nya dari segala penjuru mata arah dan di abadikan namanya dalam pemeliharaan-Nya yang agung.

Para ahlullah adalah mereka yang berbakti dalam pengabdian kepada Allah dengan tanpa lelah dan lengah di atas bumi-Nya, mereka adalah pelita masa dan kehidupan yang membawa cahaya ilahiyah , cahaya abadi yang lebih terang dari purnama dan surya.

Mereka mengenal Allah dalam ma’rifatnya yang kudus, kemauannya keras dan tidak gentar sedikit pun manakala menengadahkan tangan untuk memohon kepada-Nya. sekalipun tangan sang Maha pengasih tidak segera memberikan apa yang diminta, tapi mereka tetap yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah tidak akan pernah surut bagi hamba-Nya yang mukmin , bahkan pertolongan-Nya akan datang secara berantai, kasih sayang dan pemberian-Nya akan tertuang tanpa batas dan akan segera turun sebelum lisan terkatup dari do’a.

Mereka merupakan pribadi yang tangguh dalam menjalani hidup , tidak mudah mengeluh terhadap keprihatinan dan kepahitan, apalagi merasa kecewa dan berputus asa dari rahmat Allah SWT hanya karena musibah demi musibah yang mereka terima. sebab mereka memiliki mutiara hidup dan harta paling berharga dari semua yang ada di bumi, yaitu “kekayaan hati”.

Lantas siapakah sesungguhnya “Ahlullah” itu?

Coba kita perhatikan hadist berikut ini :
Dari Anas ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda :


“sesungguhnya Allah itu mempunyai keluarga yang terdiri dari manusia.”Lalu Rasulullah saw. Ditanya: “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “yaitu Ahlul Qur’an (Orang yang membaca atau menghafal Al-Qur’an dan mengamalkan isinya). Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi Allah.” (HR.Ahmad )

Menurut Prof.Moh Ali Musthofa bahwasanya yang dimaksud dengan Ahlul Qur’an adalah mereka yang mambaca atau menghafal A-Qur’an dengan disertai pengamalan praktis atas ajaran yang terkandung di dalamnya.

Menilik hadist di atas dapat kita ambil sebuah poin penting bahwasanya mereka yang mendapatkan sebutan “ahlullah” adalah para Ahlul Qur’an . Adapun mengenai siapakah sesungguhnya Ahlul Qur’an itu , maka saya akan memberikan penjabaran yang lebih luas pada pembahasan kita kali ini.

Orang yang disebutkan sebagai ahlul Qur’an adalah mereka yang menjadikan kitabullah (Al-Qur’an) bukan hanya sebatas bacaan dilisan saja atau sekedar huruf-huruf hijayah yang terangkai dan tereja dengan indah ketika dibaca atau dihafalkan. Akan tetapi lebih mendalam daripada itu. Yaitu mereka yang bukan hanya gemar membaca atau menghapal dan mengkajinya, tapi menjadikan sebagai ruh dalam jiwa juga dalam kepribadian menuju insan yang kamil.

Lantas seperti apakah sesungguhnya ahlul qur’an yang mendapatan panggilan istimewa sebagai “Ahlullah” yang mendapatkan kedudukan di sisi-Nya?

Yaitu mereka yang di dalam dirinya terdapat pribadi mulia sebagai berikut :

1. Ikhlas

Orang-orang yang disebut ahlul qur’an yang mendapatkan kedudukan sebagai “ahlullah”, adalah mereka yang memiliki karakter ikhlas di dalam setiap pelayanan dan penghamba’annya kepada Allah SWT,yaitu mereka beribadah dan beramal kebaikan hanya karena murni mengharap ridho-Nya, bukan karena pamrih atau adanya tedensi yang bersifat duniawiyah.

Sungguh, berapa banyak diantara kita yang bisa berbuat kebajikan, tapi tidak semuanya bisa ikhlas di dalamnya. Berapa banyak amal ibadah yang tampak bagus dari luarnya dan indah dzhirnya, tapi keropos dan penuh kepalsuan di dalamnya. Mereka hidup diantara “Kemunafikan diri”di hadapan Allah dan manusia. Sehingga mereka sibuk untuk memperindah hal-hal dzahir yang tampak oleh manusia, akan tetapi mereka lupa bahwa kemurnian hatilah yang menjadi penilaian disisi Allah SWT.

Dalam hadist Qudsi, Allah SWT berfirman:
"ikhlas adalah satu rahasia dari rahasia-Ku, Aku memasukkannya ke dalam hati orang ku cintai dari hamba-hamba-Ku.”

Ketahuailah bahwasanya keikhlasan itu akan melahirkan sebuah ketulusan dalam keta’atan, kebersahajaan dalam amal dan kesabaran yang luar biasa dalam menapaki setiap jalan menuju ridho-Nya. Dan kepribadian seperti inilah yang tercermin dari orang-orang yang disebutkan Ahlul Qur’an.

Menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan pedoman hidup untuk bisa sampai pada kehidupan yang hasanah, di dunia maupun di akhirat. Sebab Al-Qur’an merupaka “Tali Allah” yang harus senantiasa kita pegang teguh di dalam menapak jalan kehidupan menuju ridho-Nya. Oleh karena itu Al-Qur’an tanpa manifestasi dalam bentuk perbuatan yang nyata , adalah “kering” tidak memberi makna apapun, kecuali hanya sekedar rangkaian huruf hijaiyah atau kalimat yang dibaca atau dihafalkan. Sebab nilai Al-Qur’an sesungguhnya adalah terletak pada seberapa jauh pembaca atau Penghapal itu mampu menghayati dan mengamalkan isi yang terkandung di dalamnya.

Bukankah kita juga mengetahui bahwasanya iman itu belum dikatakan benar jika hanya sebatas lafad syahadatain yang terikrar di lisan saja, tapi iman itu baru bisa dikatakan benar jika diyakini dalam hati, ucapkan dalam lisan dan dibuktikan dalam bentuk tindakan / perbuatan nyata.

Maka begitu pula ahlul Qur’an , jika seseorang itu hanya menjadikan Al-Qur’an sebatas sebagai bacaan atau hafalan di lisan saja , tanpa ada penghayatan dan pengalaman terhadap makna yang terkandung di dalamnya, maka yang demikaian itu belumlah masuk dalam kategori ,”ahlul Qur’an . Sebab yang ia lakukan sesungguhnya masih dalam kapasitas “ membaca lafdhiyah”, padahal yang disebut sebagai ahlul Qur’an adalah meraka yang membaca atau menghapalkan Al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya.


2. Tawadhu’

Orang yang disebut sebagai Ahlul Qur’an yang masuk dalam kategori Ahlullah, adalah mereka ang mampu menanamkan sifat/sikap tawadhu’ dalam dirinya. Yaitu sifat/sikap yang mencerminkan kerendahan hati ,tidak mereka lebih baik /lebih mulia di antara manusia, tapi sebaliknya memandang rendah dan hina terhadap dirinya dihadapan Allah SWT, sehingga tidak sepantasnya ia bersikap “Berbangga Diri” terhadap kebradaan dirinya, baik itu diantara sesama terlebih lagi disisi allah SWT.

Para ahlul Qur’an mengetahui dengan pengetahuan yang baik , bahwasanya tidak satupun kebaikan yang mampu mereka kerjakan, melainkan itu hanya atas pertolongan dari Allah SWT, maka sangatlah tidak pantas jika merasa bangga dengan kebaikan yang mereka kerjakan?

Berhati-hatilah dengan perasaan bangga dan “kerelaan” atas diri kita, sebab hal itu merupakan pelemah dan pelumpuh bagi sampainya seseorang pada kesempurnaan dan kebajikan. Ketika rasa bangga itu muncul dalam diri seseorang , maka tak jarang hal itu akan membuatnya berhenti dari usaha untuk meningkatkan intensitas amal baiknya, merasa telah ikhlas dan tenang terhadap diterimana amal yang telah dilakukannya.Bahkan tak jarang kebanggan tersebut menjerumuskan dirina pada sikap suka mencela dan menghina terhadap kelemahan orang lain.

Bersikap tawadhu’ dalam beragama , beribadah dan berbuat kebajikan adalah penyelamat dari rasa bangga, congkak dan ujub pada diri seseorang. Sebab dengan kerendahan diri dihadapan Allah serta kerendahan hati diantara sesama, maka ia akan lebih memelihara dirinya dari “tindakan gegabah” suka mencela dan menghina orang lain ataupun mereka “lebih” dari orang lain. Dan ketahuilah bahwa kerendahan yang seperti ini merupakan tiket untuk bisa menjadi “Ahlullah”.

Para Ahlullah adalah orang-orang yang memiliki pengertian mendalam terhadap besarnya bahaya sikap sombong dan ujub, sehingga merek sangat keras di dalam memilihara dirinya dari sifat/sikap kebanggaan yang semacam itu. Maka sekalipun mereka adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi dai hadapan allah, tapi mereka tidak akan selamat dari buruknya hawa nafsu dan kebanggan diri, kecuali hanya atas pertolongan dari Allah SWT. Oleh karena itu pula mereka tidak akan menempatkan diri dihadapan Allah, kecuali dalam keadaan yang sangat rendah lagi hina, sehingga mereka benar-benar menghadap sebagai seorang hamba yang sangat butuh terhadap rahmat dan pertolongan-Nya serta tidak sekalipun meras aman dari siksa-Nya.

Bagi para Ahlullah pujian ataupun celaan adalah sama, sehingga ketika celaan datang maka hal itu sama sekali tidak membuat mereka menjadi “pribadi yang berbeda” ,sebab selama yang mereka lakukan adalah baik dan benar dalam pandangan allah, maka bagaimanapun pandangan atau penilaian manusia terhadap apa yang dilakukannya bukanlah menjadi satu hal yang perlu untuk dirisaukan, karena apa yang dilakukannya adalah datang dari ketulusan dan keikhlasan hati.

Dan begitu pula sebaliknya ketika pujian atau penghormatan itu datang kepada dirinya, maka mereka tidak merasa “berbangga diri”,congkak ataupun bersikap sombong. Sebab mereka datang kehadapan Allah membawa amal dengan penuh kerendahan hati pula. Inilah karakterisktik orang-orang yang memiliki kedudukan istemewa sebagai “ahlullah”. Ketahuilah, bahwasanya Allah SWT itu sangat “memanjakan” hamba-hamba-Nya, yaitu kepada mereka para hambanya pilihan yang mengkehendaki-Nya .

Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam firman-Nya.
“Barangsiapa yang datang kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan menghampirinya sehasta, kalau datangnya sehasta ,maka kudatang sedepa , kalau datangnya dengan berjalan, kusambur dengan berlari.”(Hadist Qudsi)


Betapa indah gambaran kemesraan serta kedekatan antara Allah dengan hamba-Nya yang mau mendekat kepada-Nya , dimana, “Pelayanan” seorang hamba kepada-Nya akan disambut dan diberikan imbalan berkali lipat dari apa yang telah dilakukannya.
Bukankah dalam Al-Qur’anAllah SWT berfirman , yang artinya:
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..” (QS. Al-Mukmin : 60)


Lantas permintaan atau do’a siapakah yang memperoleh penyambutan dan jaminan kemakbulan yang seperti ini?

Tentulah do’a mereka yang datang dan memohon kepada-Nya dengan penuh kerendahan diri dan hati di hadapan Allah SWT yaitu tawadhu’. Maka hal ini adalah bukti bahwasanya terdapat kedekatan yang sangat erat antara hamba yang tawadhu’ dengan kemuliaan derajat di sisi Allah SWT, sehingga Allah menyambut “kedatangan” mereka dengan penyambutan yang istimewa dan mengabulkan apa yang menjadi permintaan mereka.


3. Sabar dan Syukur

Orang-orang yang disebut sebagai ahlul Qur’an yang menempati kedudukan sebagai “Ahlullah” , adalah mereka yang menhajalani hidup dengan qona’ah ,sabar dan penug rasa syukur. Qona’ah berarti nerima semua yang telah ditetapkan oleh Allah dengan mencukupkan diri dengan apa yang dimilikinya dan tidak berharap dengan apa yang dimiliki oleh orang lain, baik itu berupa harta, tahta maupun wanita. Hatinya merasa “dingin” kurang membutuhkan terhadap semua , sebab bagi mereka kecintaan terhadap itu semua adalah kepalsuan dan kehinaan belaka, dalam sebuah hadist rasulullah saw bersabda:

“bukan orang kaya itu yang banyak hartanya, tetapi orang yang kaya adalah orang yang kaya hatinya.” (HR.Syakhain dari Abu Hurairah ra)

Hadist di atas menegaskan bahwa hakikat dari kekayaan adalah terletak pada kebesaran jiwa masing-masing individu, karena beraoa banyak orang yang kelihatan kaya , hidupnya bergelimangan harta dan kemewahan, tetapi hatinya fakir dan miskin, selalu mengarapkan apa yang dimiliki oleh orang lain. Sehingga semua yang mereka miliki tidak mampu mendatangkan ketenangan serta kedamaian dalam jiwa. Dan sebaliknya seberapa banyak orang yang terlihat fakir, tapi hatinya meras tenang bersama Allah dan merasa cukup dalam pandangan manusia. Inilah kekayaan yang sesungguhnya.

Ketahuilah bahwasanya sikap Qona’ah adalah benteng bagi seseorang mukmin untuk menjaga dirinya agar tidak mudah tenggelam atas karunia yang melimpah oleh Allah yang berupa kenikmatan dan kemewahan dunia, sebab dalam jiwanya tertanam sebuah keyakinan bahwa rizki itu selalu datang kepada setiap makhluk tanpa adanya yang menolak ataupun menghalanginyaa. Sehingga hati mereka pun selalu merasa tenang dan tentram serta tidak terlalu berlebih-lebihan di dalam mencari kesibukan duniawi.

Sifat atau sikap Qona’ah juga dapat menumbuhkan kesabaran luarbiasa dalam diri seorang mukmin, sebab pada hakikat segala situasi dan kondisi yang terjadi pada diri seorang mukmin, sebab pada hakikatnya segala situasi dan kondisi yang terjadi pada diri manusia adalah berjalan atas kehendak dan kuasa dari Allah SWT, baik itu berupa kesenangan atau kesedihan, kelapangan, kesempitan, musibah ataupun anugerah. Semuanya adalah datang dari Allah SWT, maka sikap terpuji yang seharusnya tercermin dari orang yang beriman, adalah bersikap qona’ah dan sabar.

Hanya dengan kesabaran manusia akan sampai pada tujuan, yaitu kemenangan dan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya, yang artinya:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu dan belum nyata orang-orang yang bersabar.” (Q.S Al-Furqan :20)


4. Taubat

Setiap anak Adam memang tidak ada yang bisa luput dari perbuatan salah dan dosa , kecuali mereka yang ma’sum ( yang terpelihara dari dosa), karena tabiat dari nafsu adalah cenderung mengajak pada perbuata buruk, keji dan munkar dan setiap manusia itu memilki nafsu dalam dirinya. Sedangkan syertan sebagai musuh nyata manusia selalu berusahan menjadikan nafsu sebagai senjata di dalam memberdaya dan menyesatkan manusia. Maka dari itu hanya orang-orang yang mendapatkan pertolongan dan pemeliharaan dari Allah lah yang bisa selamat dari tipu daya serta kesesatan yang demikian itu.

Ketahuilah, bahwa bagi para “Ahlullah” perbuatan dosa itu laksana dosa atau bintik hitam yang menebarkan bau busuk di dalam hati manusia, sedangkan hati itu laksana cermin, maka jika noda hitam itu dibiarkan mengendap dalam hati bahkan semakin hari semakin bertumpuk nodanya, tentunya kita dapat membayangkan bagaimana rupa dari cermin itu dan seperti apa kebusukan yang keluar darinya?

Seluruhnya permukaan pasti akan berubah menjadi hitam, maka gelaplah hatinya sehingga ia tidak lagi mampu melihat syetan yang datang kepadanya, karena itu walaupun telinganya mendengar tapi ia tuli , matanya melihat tapi buta dan lisannya berbicara tapi bisu. Nasehat dan peringatan yang datang padanya ia acuhkan, bahkan ia menenggelamkan dirinya sendiri ke dalam kehinaan dan kerendahan yang serendah-rendahnya.

Na’udzubillah min dzalik...

Para “Ahlullah” adalah orang-orang yang senantiasa menjaga dan mensucikan dirinya dengan taubat, sehingga hal itu membuka mata hatinya untuk melihat dan berjalan ke arah kesadaran menuju rahmat dan poengampunan Allah SWT.


Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 222 , Allah SWT berfirman:

“.......Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”

Taubat berarti membebaskan dan menjauhkan diri dari dosa dengan bersungguh-sungguh dan penuh kemauan keras di dalam meninggalkan kesalahan-kesalahan.

Taubat merupakan bagian dari “pensucian diri” yang bisa mengantar seseorang pada kemurnian cinta Illahi, sebab di dalam taubat sesungguhnya bukan hanya mengandung unsur penyesalan belaka, tapi ada penyertaan rasa takut kepada Allah SWT, sehingga menjadikan seseoprang bersikap “perfentif” mencegah dari kembalinya seseorang mengulangi kesalahan atau dosa yang sama, serta menjadikannya lebih bersemangat dalam melakukan keta’atan dan amal soleh.

Orang yang bertaubat itu ada tiga macam yaitu pertama, mereka bertaubat dari dosa. Kedua,mereka yang bertaubat dari kelengahan dirinya sekalipun tidak berbuat dosa dan ketiga, mereka yang bertaubat atas perasaan meridhoi dirinya terhadap ibadat yang dilakukannya.
Maka orang yang benar-benar disebutkan bertaubat , adalah mereka yang bertaubat dari semua perkara tersebut, baik itu dari perbuatan dosa, kelengahan ataupun perasaan ridho terhadap ibadah yang dilakukannya.

Bagi para “Ahlullah” taubat bukan hanya sekedar penyucian dari dosa, tapi juga meliputi tindakan pencegahan agar dirinya tidak terjerumus pada perbuatan dosa sekecil apapun. Sebab taubat berkaitan erat dengan perasaan takut kepada Allah, sehingga mereka bersikap tidak meremehkan terhadap akibat dari perbuatan dosa sekecil apapun itu. Dan inilah yang menjadi benteng bagi nya dari perbuatan dosa serta yang mengantarkan mereka pada derajat muttaqin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar