Tentunya keputusan ini diambil setelah melalui
prosesnya yang ma’lum, dengan terlebih dahulu sebelumnya melakukan rukyat hilal
untuk menentukan tanggal 1 dzulhijjah. Hingga pada akhirnya menurut pemerintah
Saudi 1 dzulhijjah itu jatuh pada hari kamis 25 september 2014.
Namun kabar berikutnya tersiar dari pemerintah
kita setempat, melalui Kementrian Agama Republik Indonesia bahwa ternyata dari
hasil rukyat yang dilakukan menetapkan bahwa 1 dzulhijjah itu jatuh pada hari
jumat 26 sepetember 2014, itu artinya bahwa tanggal 9 dzulhijjah jatuh pada
hari sabtu, dan ahadnya Idul Adha.
Perbedaan hasil rukyat kedua negara ini membuat
ramai sebagian masyarakat Indonesia khususnya. Mungkin ada yang bingung,
terutama dalam menentukan kapan kita yang di Indonesia ini melakukan puasa
sunnah Arofah? Untuk seterusnya juga membingungkan, kapan kita berlebaran? Ikut
pemerintah Saudi atau Indonesia?
Hari Arofah dan Puasa Arofah
Hari Arofah adalah hari dimana semua jamaah haji
melakukan puncak ritual haji dengan melakukan wukuf di Arofah, inilah yang
dimaksud oleh Rasulullah SAW bahwa “Al-Hajju Arofah”; Haji itu Arofah. Dan hari
Arafah itu bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah.
Jadi wukuf di Arofah itu harus bertepatan dengan
dua hal; waktu dan tempat. Waktunya pada tangal 9 dzulhijjah, dan tempatnya
adalah di Arofah.
Sedangkan puasa Arofah adalah puasa sunnah yang
dilakukan oleh mereka yang tidak sedang melaksanakan wukuf dimana waktunya
bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah, waktu dimana mereka yang sedang
menunaikan ibadah haji melaksanakan wukuf di Arofah.
Jadi ada titik temu antara dua jenis ibadah ini
(wukuf dan puasa) yaitu waktunya bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah. Dan
yang perlu diketahui bahwa dua ibadah ini tidak saling berkaitan satu dengan
yang lainnya.
Dimana ibadah wukuf akan tetap sah walaupun
orang-orang diluar Mekkah sana tidak sedang melaksanakan ibadah puasa, dan
sebaliknya ibadah puasa sunnah tanggal 9 itu tetap sah walaupun orang yang
sedang berhaji itu tidak wukuf.
Karena sangat mungkin bahwa mereka yang berhaji
itu berhalangan untuk wukuf, karena dihadang musuh misalnya, bencana alam, atau
kendala lainnya, atau mereka wukuf tapi waktunya salah, atau mereka wukuf pada
waktunya tapi tempatnya salah, dst..
Jadi sekali lagi bahwa puasa Arofah bukan karena
mereka wukuf, tapi puasa itu dilakuakan karena ia beretepan dengan tanggal 9
dzulhijjah. Pun begitu sebaliknya, wukuf itu dilakuakn bukan karena orang diluar
sana puasa, tapi karena ia bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah. Karena
standar ibadah kita adalah waktu.
Disebut hari Arofah untuk mengingatkan jamaah haji
akan pentingnya hari ini, karena hari ini adalah intinya haji, dimana mereka
diwajibkan untuk wukuf di Arofah, selebihnya maka sebenarnya hari ini bisa
disebut dengan hari sembilan, dan puasa sunnah itu juga bisa disebut dengan
puasa hari sembilan.
Menentukan Tanggal 9 Dzulhijjah
Disinilah letak permasalahannya, yaitu pada cara
kita menentukan kapan jatuhnya tanggal 9 dzulhijjah. Dan semua ulama
menyepakati bahwa standar perhitungan ibadah ini adalah peredaran bulan.
Maka cara menentukannya sudah pasti dengan
terlebih dahulu mengetahui kapan jatuhnya tanggal 1 dzulhijjah. Maka dalam hal
ini kita akan kembali diingatkan dengan bagaimana cara penentuan 1 Ramadhan,
caranya sama persis, dan perbedaan ulama dalam hal ini juga sama persis.
Penentuannya bisa dengan metode rukyat ataupun
hisab; hisab wujud al-Hilal atau juga Hisab Imkan ar-Ru’yah, atau gabungan dari
keduanya. Hingga akhirnya kita akan menemukan perbedaan ulama pada masalah
rukyat lokal atau Internasional; apakah setiap masyarakat harus mengikuti hasil
perhitungan lokal, atau boleh juga mengikuti hasil dari negara Islam lainnya?
Yang dalam bahasa fikihnya dikenal dengan sebutan wihdah al-Mathali’ wa
ikhtilaf al-mathali’.
Setiap Negri Boleh Memutuskan Sendiri
Lebih kurang ini adalah hasil dari perbedapatan
ulama dalam masalah penentuan awal bulan baru, kita tidak boleh
menafikan bahwa banyak juga para ulama yang meyakini bahwa setiap negri boleh
untuk memutuskan sendiri waktu ibadah mereka, tentunya ketupusan ini bukan
dengan semua gue, tetap harus melalui metode yang benar.
Hal ini disandarkan dengan hadits Kuraib yang
sudah masyhur ditelinga kita, diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa:
أن أم الفضل بنت الحارث بعثته في حاجة إلى معاوية
بالشام، قال: فقدمت الشام فقضيت حاجتها واستهل علي رمضان وأنا بالشام، فرأيت
الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر فسألني عبد الله بن عباس ثم ذكر
الهلال، فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه يوم الجمعة، فقال: أنت رأيته؟ فقلت:
نعم، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم
حتى نكمل ثلاثين أو نراه، فقلت: فلا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا هكذا
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits pernah
menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu
urusan. Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl.
Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal
malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir
bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku
“Kapan
kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas.
“kami melihatnya malam jumat.” Jawab Kuraib.
“Kamu melihatnya sendiri?” tanya Ibnu Abbas.
“Ya, saya melihatnya dan masyarakatpun
melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa.” Jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan:
لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل
ثلاثين أو نراه
“Kalau
kami melihatnya malam sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama
30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi,
“Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah
dan puasanya Muawiyah?”
Jawab Ibnu Abbas,
لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.”(HR. Muslim 2580)
Dari cerita Kuraib diatas bisa kita ambil beberapa
pelajaran, bahwa walaupun pada waktu itu ummat Islam masih berada dalam satu
kepemimpinan (khilafah) namun memungkin bagi Ibnu Abbas untuk berbeda dengan
keptusan kholifah, dan tidak terdengar bahwa Ibnu Abbas adalah bagian dari
mereka yang ‘membangkang’ dari kepemimpinan Muawiyah.
Padahal dalam waktu yang bersamaan seorang Kuraib
ini adalah Tabiin yang sholih, beliau mengabarkan kesaksiannya sudah melihat
bulan dan dikabarkan juga keapda Ibnu Abbas bahwa masyarakat lainnya juga sudah
melihat bulan, tapi justru ibnu Abbas menegaskan untuk memutuskan sendiri
dengan menyandarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah SAW yang beliau bacakan.
Jadi jika kita tarik ke zaman sekarang maka
sebagaimana pemerintah Saudi Arabiyah boleh memutuskan sendiri perihal puasa,
Idul Fitri dan Idul Adha, maka hal sama bahwa pemerintah Indonesia juga boleh
untuk menetapkan sendiri waktu puasa, Idul Fitri dan Idul Adhanya.
Mau Ikut Saudi Arabiyah?
Memang ada pendapat lainnya yang mejelaskan
kebolehan untuk megambil satu kesaksian dengan alasan wihdah al-Mathali’,
namun perlu diketahui juga bahwa yang dimaksud dengan satu kesaksian bukanlah
milik orang Saudi saja, karenannya memungkin bagi kita juga untuk mengambil
keputusan negri tetangga lainnya, walaupun bukan Saudi.
Sebagaimana kita boleh mengikuti Saudi, namun hal
yang sama juga sebenarnya orang Saudi boleh mengikuti keputusan negri kita,
jika saja dalam keputusannya kemarin kita yang terlebih dahulu memberikan hasil
keputusan.
Namun ternyata justru ada salah seorang ulama
terkemuka Saudi sendiri malah meyarankan kepada kita untuk tetap mengikuti hasil
keputusan lokal, dan tidak harus mengikuti keputusan Saudi.
Syaikh Ibnu Utsaimin mengemukan dalam fatwanya:
والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا
كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل
مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم
لأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو
الثامن عندهم ، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا
هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا
رأيتموه فأفطروا(
“Dan yang benar itu dalah sesuai perbedaan mathla’
(tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah,
dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal
terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf arafah menurut warga negara
lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi
mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka.
Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal
terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah,
posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan
puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di
Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
“Apabila
kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi (hari
raya), maka berbukalah” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin)
Jadi Kesimpulannya?
Kesimpulannya bahwa perkara ini sangat longgar,
bahwa tidak ada yang salah dengan pemerintah kita yang sudah bersusah payah
melakuakan usaha dalam penentuan awal dzulhijjah, walaupun pada akhirnya
terdapat perbedaan antara hasil yang diputuskan dengan apa yang diputuskan oleh
pemerintah Saudi Arabiyah.
Untuk mereka yang sekarang berada di Saudi
Arabiyah, dari manapun asalnya, maka mereka terikat dengan waktu Saudi dalam
hal apa saja; Sholat, puasa, berbuka, wukuf, dan idul adha, namun untuk mereka
yang berada di luar Saudi, mereka juga baiknya mengikut penjadwalan waktu
setempat. Walaupun khusus untuk perkara puasa ramadhan, puasa 9 dzulhijjah dan
dua lebaran boleh-boleh saja mengkuti keputusan Saudi.
Secara pribadi saya sendiri agak kaget dengan
salah satu pernyataan ust muda ketika beliau menuliskan di webnya (Lihat:
http://felixsiauw.com/home/tentang-perbedaan-penentuan-ied-adha-dan-puasa-arafah/)
perihal penentuan Idul Adha dan Puasa Arafah, beliau menuliskan:
“Mengenai penetapan Ied ‘Adha ini berbeda
dengan Penentuan Awal Ramadhan yang memang penetapannya berbeda-beda tergantung
madzhab yang digunakan. Dalil Penentuan Awal Dzulhijjah ini berbeda karena
kewenangan menentukannya khusus diberikan pada penguasa Makkah yang mengurusi
Haji”
Wallahu A’lam Bisshawab dari mana beliau menemukan
kesimpulan tersebut, seakan tidak ada opsi lain dalam masalah ini, padahal dari
dulu sekali sahabat Ibnu Abbas sudah meyakinkan bahwa dalam perkara ini
memungkin bagi kita untuk berbeda.
Wallahu A’lam Bisshawab
Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc. MA.
Sumber : rumahfiqih.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar