Senin, 10 Desember 2012

DARI DIAM DAN HENING 5.



Adakalanya kita seperti ingin memraktekkan cara mati sebelum mati. Tapi dengan cara seperti kita ingin benar-benar mati. Misalnya, kita bisa saja melakukan aktivitas-aktivitas yang sebenarnya akan merusak syaraf-syaraf otak yang sudah terbentuk itu dengan cara menahan nafas untuk mengurangi suplai oksigen kedalam otak kita. Atau kita bisa melakukan metoda penyiksaan diri lainnya seperti bertapa ditempat sunyi, bermeditasi dibawah air terjun, dan dengan pemakaian obat-obatan penyebab halusinasi lainnya seperti yang banyak dilakukan orang-orang di pedalaman rimba Amazon Brazil. Tujuannya satu, yaitu agar kita bisa untuk beberapa saat melepaskan diri kita dari penjara pikiran yang membelenggu kita selama ini.



Salah satu cara mengurangi suplai oksigen kedalam otak kita adalah dengan jalan penahanan nafas kita selama waktu tertentu. Semakin lama kita bisa menahan nafas, biasanya kita akan lebih cepat “kehilangan” kesadaran kita. Sampai pada suatu saat keadaan kita menjadi seperti orang yang sedang tercekik. Kita gelagapan. Kalaulah kita bisa tenang dan tidak panik saat itu, kita keluarkan nafas kita dengan perlahan, maka akan terasa seperti ada letupan kecil, TASSS, didalam otak kita. Saat itu kita seakan-akan memasuki alam yag semakin lama semakin luas, dan juga hening. 


Orang yang sudah pernah mengalami keadaan ini biasanya akan melakukannya kembali berulang-ulang dan berlama-lama. Untuk bisa melakukannya kembali dengan mudah, kita butuh semacam jangkar berupa ucapan, atau bentuk perpaduan tertentu jari-jari kedua tangan kita seperti dalam ilmu ninja, atau sikap tubuh tertentu, atau bisa pula gambar tertentu. Mungkin suasana yang didapatkan dengan cara seperti ini yang disebut orang sebagai memasuki keadaan Somnambulisme, entahlah.


Didalam tarekat-tarekat tasawuf tertentu, ilmu dan praktek menghentikan pikiran ini juga sangat beragam sekali. Salah satunya adalah proses suluk, dimana seorang salik harus berdiam diri didalam sebuah ruangan yang gelap karena pintu ruangannya tidak pernah dibuka. Setiap salik harus berdiam diri didalam kelambu yang diberi kasur tipis untuk beberapa lama, biasanya sebulan penuh selama bulan ramadhan. 


Salik hanya diwajibkan berdzikir sepanjang hari, sepanjang malam, didalam kelambu itu. Bahkan makan dan minumpun harus didalam kelambu. Salik boleh keluar kelambu hanya di saat shalat berjamaah dan di saat mandi. Selebihnya salik diwajibkan melakukan dzikir yang jumlahnya puluhan ribu kali. Selama dzikir salik diwajibkan mengarahkan kesadarannya kepada satu objek pikir tertentu saja berupa lathaif (cakra dalam praktek meditasi Hindu dan Budha) yang jumlahnya sangat beragam, ada yang tujuh, ada yang lima, ada yang tiga. Umumnya tujuh, sehingga disebut sebagai Lathaif Tujuh. Ketika berdzikir itu, disamping si salik mengucapkan kalimat-kalimat tertentu, seperti laa ilaha illallah, Allah-Allah dan sebagainya, bisa juga ditambah dengan si salik berusaha menghujamkan gambar huruf Allah dalam bahasa arab kedalam lathaif utama, yaitu lathaif qalb yang berada dibawah susu kiri. 

Kombinasi antara makan yang kurang gizi (karena biasanya hanya nasi putih, sayur nangka, dan ikan teri), ditambah dengan ruangan yang gelap, pikiran terpusat pada lathaif-lathaif, ucapan monoton laa ilaha illallah, Allah-Allah, tulisan Allah dalam bahasa arab, kecapean, kelelahan, ngantuk, emosi ingin melepaskan diri dari jebakan tubuh dan pikiran, maka pada suatu ketika pastilah muncul juga keadaan seperti Somnambulisme diatas. Tapi bedanya didalam tarekat ini hampir selalu diawali dengan tangisan histeris yang sangat hebat, gerakan meronta yang liar, dan ucapan-ucapan yang tidak terkontrol. Keadaan seperti ini bisa saja sebentar dan bisa pula berhari-hari lamanya. 

Bersambung
Deka  
http://yusdeka.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar