Senin, 28 Maret 2011

Allah Maha Melihat



Seperti biasa, pagi itu saya masuk ke ruangan untuk mengajar siswa-siswa sekolah menengah atas di sebuah sekolah swasta. Di sekolah itu, saya mengampu pelajaran agama Islam. Hari itu merupakan hari pertama saya masuk, setelah seminggu para siswa melaksanaan ujian semester. Sudah menjadi kebiasaan, hari pertama masuk pasca ujian semester adalah hari pembagian lembar hasil ujian yang telah dinilai guru pengampu.
Sesaat setelah membagikan lembar hasil ujian yang telah saya nilai, saya menyampaikan beberapa patah kata kepada anak didik saya.
“Saya senang melihat nilai-nilai kalian yang bagus. Tapi, apa benar itu hasil pekerjaan kalian sendiri?”
Beraneka ragam reaksi siswa ketika saya melempar pertanyaan itu. Ada yang tersenyum, ada yang tertawa, ada yang diam dan ada juga yang menyahut dengan suara lantang, “Seratus persen pekerjaan sendiri, Pak!”
“Saya berharap seperti itu. Nilai itu kalian peroleh dari jerih payah kalian sendiri,” saya menanggapinya.
Setelah suana kelas tampak lengang, perlahan saya berdiri di hadapan siswa. Saya mengambil posisi berdiri di tengah, membelakangi papan tulis.
“Anak-anakku, dalam hidup ini kita harus jujur. Jujur kepada diri sendiri, jujur kepada orang lain dan jujur kepada Tuhan.”
Sesaat saya berhenti, sambil memperhatikan anak-anak yang diam seribu bahasa, serius mendengarkan ucapan saya.
“Saya tidak berprasangka buruk dengan nilai yang kalian peroleh. Tapi saya hanya ingin kalian semua jujur. Perbuatan menyontek, bertanya kepada teman di saat ujian merupakan perbuatan yang tercela. Dan jangan kalian menganggapnya sepele.”
Anak-anak tampak mulai terhanyut dengan ucapan saya. Dengan nada lirih, saya mencoba menyadarkan anak didik saya.
“Coba saya bertanya kepada kalian, seandainya saat kalian ujian, kemudian di empat sudut ruangan tempat ujian kalian ditunggui ayah, ibu, kakak dan adik kalian, apakah kalian berani untuk menyontek atau bertanya kepada teman kalian?”
“Tidak!!” Serentak jawaban mereka yang kemudian disusul suara tawa.
“Kalau kalian menjawab tidak, saya menjadi ragu akan kualitas keimanan kalian.” Celetuk saya yang mengejutkan para siswa. Salah seorang siswa yang duduk di bangku paling depan mengangkat tangannya seraya berucap, “Maaf, Pak. Kok bisa begitu?”
“Ya memang begitu. Keimanan kalian kepada Allah masih sangat minim, masih sebatas pada penglihatan mata manusia. Karena para realitanya, kalian berbuat atau tidak berbuat tergantung dilihat manusia atau tidak. Buktinya, kalian tidak akan berani menyontek saat ujian ketika ditunggui pengawas atau orang tua kalian. Jadi, intinya kalian masih belum bisa merasa bahwa ada Dzat Yang Maha Mengawasi, yaitu Allah.”

Semua siswa menunduk. Saya berhenti sesaat. Pandangan saya menyapu ke arah wajah semua anak didik saya.
“Bagaimapun niatnya, perbuatan orang yang tidak merasa diawasi Tuhan adalah perbuatan tercela. Bahkan bisa mencemari akidah. Jika seseorang melakukan perbuatan buruk dengan berpraduga bahwa Allah tidak melihat kita, berarti kita sudah tidak beriman lagi kepada Allah. Karena Allah Dzat Yang Maha Melihat. Sedangkan jika kalian melakukan perbuatan buruk dengan berpraduga bahwa Allah melihat kita, berarti sama artinya kita menentang Allah.”
Anak-anak itu semakin menundukkan wajah, dan aku semakin mencoba memasukkan nasehat baik ke dalam hati mereka.
“Bagaimana tidak menantang Allah. Coba kalian bayangkan, misalkan ada seorang Bupati menetapkan peraturan kepada warganya: Dilarang membuang sampah di sungai! Kemudian, saat itu bapak Bupati berada di tepi sungai, kemudian kamu membuang sampah di hadapannya seraya berucap, ‘Permisi Bapak Bupati’.”
Keadaan semakin lengang. Di tengah kelengangan mereka, saya ucapankan sebagai kata penutup, “Bagaimana sekarang, apakah kalian masih berani untuk menyontek atau melakukan perbuatan tercela?”[]
PenglihatanNya bisa menembus langit dan bumi.
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al Hadiid 4]
Dia bisa melihat semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di langit yang kelam.
Tak ada selembar daun pun yang jatuh ke bumi tanpa Allah melihatnya. Tidak pula daun kering atau basah kecuali Allah melihatnya.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” [Al An’aam 59]
Allah bisa melihat meski itu hanya sebesar dzarrah.
(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [Luqman 16]
Ini beda dengan manusia yang penglihatannya terbatas. Bahkan pada umur 70 tahun ke atas, pandangan manusia rabun bahkan ada yang buta karena katarak atau penyakit mata lainnya.
Pandangan manusia pun terbatas.
Manusia tidak bisa melihat tengkuknya sendiri.
Ada yang pernah melihat tengkuknya sendiri?
Manusia juga tidak bisa melihat jantungnya sendiri.
Saat meleng atau pun tidur, manusia tidak dapat melihat. Sementara Allah selalu Melihat kapan saja dan di mana saja.
Benda yang jauh pun manusia tidak bisa melihatnya.
Padahal pandangan Allah meliputi bumi hingga langit ke 7.
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al Hujuraat 18]
Subhanallah.
Allah Maha Melihat!
Karena itu jika kita ingin berbuat jahat seperti korupsi, mencuri, mencopet, dan sebagainya, ingatlah: meski tidak ada orang yang tahu, tapi Allah melihat perbuatan kita. Begitu pula malaikat Roqib dan ‘Atid yang ada di sisi kanan dan kiri kita mencatat perbuatan kita. Kelak perbuatan kita akan dibalas oleh Allah SWT.
“…Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” [Al Ikhlas 4]
Tidak ada satu pun yang menyerupai Allah karena Allah jauh berbeda dengan makhluqnya (Mukhollafatuhu lil hawaadits)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar